Ewako Le Coq-Orient

Monday, January 24, 2011

Kapurung yang Merekatkan

Story by. Ahmad Yani Hasti

Entah ada angin apa, tiba-tiba saja kawan saya mengajak kongsi untuk mengumpulkan uang membeli bahan Kapurung. Minggu Malam (23 Januari 2011), saya dan kawan-kawan membikin masakan yang merupakan makanan khas di Palopo dan Luwu. Tapi sebenarnya, Kapurung tidak hanya populer di Palopo dan Luwu saja, melainkan juga populer di sepanjang Sulawesi Selatan. Tak sedikit ibu rumah tangga yang tinggal dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan, seperti Bone, Parepare, Sidrap pun cukup familiar dengan pembuatan Kapurung. Sementara itu, banyak yang bilang Kapurung yang dibuat bukan oleh orang-orang Palopo dan Luwu, rasanya sudah jauh berbeda. Kupikir itu persoalan selera saja.


Makanan berbahan dasar dari sagu ini, mirip dengan Sinonggi di Kendari, Sulawesi Tenggara dan Papeda di Papua. Adonannya menyerupai lem. Hanya saja, bulatan Kapurung dibuat dengan menggunakan sepasang sumpit, istilah Palopo dan Luwunya yaitu didui, dan dicampur bersama kuah pedis, sayur mayur, jeruk nipis, ditambah dengan ikan, udang atau daging ayam. Menggunakan sumpit hanyalah cara yang lebih tradisional. Kini bulatan Kapurung dapat dibuat dengan sendok. Beruntung saya bisa menyaksikan kawanku membikin Kapurung dengan tehnik yang lebih tradisional tersebut.


Adonan Kapurung yang baik tidak begitu encer dan tidak ada lagi gumpalan sagunya. Untuk membuat adonan seperti itu memang membutuhkan tehnik khusus. Makanan ini tidak perlu dikunyah, tapi langsung ditelan saja, sebab bila dikunyah, justru akan terasa hambar, kesulitan, dan akan lengket sana sini di rongga mulut.


Ada guyonan menyegarkan malam itu saat kami menyantap Kapurung. Kenapa kalau ke kantor Pos yang ada di Palopo, anda tidak bisa menemukan lem? Karena kupikir itu adalah pertanyaan serius, awalnya saya kebingungan. Tapi saya hanya tertawa saja saat mendengar jawabannya dari seorang teman. “Karena ‘lem’ (diumpamakan Kapurung) itu habis dimakan oleh orang-orang Palopo,” ungkapnya.


Bukan hanya adonan yang terlihat merekat di tangan. Kapurung itupun merekatkan kami dengan rasa yang dihadirkannya. Teman saya dari Medan ikut mencicipi dan ia akui langsung jatuh cinta dengan rasa Kapurung yang unik.

Saturday, January 08, 2011

Coto Makassar Always Been Popular in Makassar


Story by. Ahmad Yani Hasti

Only a small percentage of people who feel this food is strange, especially newcomers. Sometimes they even feel disgusted. Although not all of them, but believe me, generally of Buginese-Macassar People is very happy to eat this typical Makassar cuisine. This food is called Coto Makassar. I’m sure, although this food is not suitable for diet, but you will not suddenly fat by eating it just once in a while.


As long as you fans of cow and not too choosy about food, you will easily fall in love with this Makassar cuisine. Guess what? There's one nice thing when I ordered and ate a bowl of Coto Makassar. Everything can be adjusted to taste. Start by selecting contents of Coto Makassar’s dressing is based on taste. Whether it's only meat, only liver, meat plus liver, or mixed in which consists of meat and beef offal. You also no need to worry about the beef offal, it was cleaned and boiled.


Then you can add with lemon, fried onions, chili sauce, soy sauce and salt as you please. As the complement, Coto Makassar usually eaten with ketupat (diamond rice cake) or rice. In Makassar, there are many food stalls that make Coto Makassar as the main menu. If you come to Makassar, just ask the local people, which food stall that it has the most delicious Coto Makassar? You will get some instructions and a few names of food stalls. Because only in Makassar, the most stalls of Coto Makassar.

Tuesday Night (January 4, 2011), my friend treated me with some other friends at one of Coto Makassar food stall in Jalan Perintis Kemerdekaan, Makassar. He just received honors from his great boss. In that Coto Makassar stalls, a mustache staff carry a tray of ketupat placed on his head. Hahaha, I'm kidding, he really was not the staff, he is my friend who treated me. He was desperate to be photographed by me with his new style.



Not only with his strange behavior, once again we draw attention in that food stall. This time not because our busyness by taking some pictures, not because the jokes which inviting our loud laughter, but it’s because we also propose a toast. Hmm, the thing that really unusual in that food stall.


Well, there is another surprise in the food stall. I never think that a tray of ketupat in front of me was nearly exhausted by ten people. Hooked or hungry, huh? Hehehe, but indeed a bowl of Coto Makassar will not satiate us if not equipped by ketupat.

It feels without that the time also speaking, increasingly late nights, laughter charts began to decline, eyes getting heavy, and we hurried home. I talk to my self, someday I'll eat Coto Makassar again. Just wait!



BAHASA INDONESIA

Hanya sebagian kecil orang saja yang merasa makanan ini aneh, utamanya pendatang. Terkadang mereka bahkan terlihat jijik. Meski tidak semuanya, tapi percayalah padaku, umumnya masyarakat bugis-makassar senang menyantap masakan khas Makassar ini. Makanan ini disebut Coto Makassar. Saya yakin, meski makanan ini tidak cocok untuk diet, tapi anda tidak akan mendadak gemuk hanya dengan sekali-kali menyantapnya.

Selama anda penikmat sapi dan tidak terlalu memilih-milih soal makanan, anda akan dengan mudah jatuh hati pada masakan khas Makassar ini. Tahu tidak? Ada satu hal yang menyenangkan bila saya memesan dan menyantap semangkuk Coto Makassar. Semuanya dapat disesuaikan selera. Mulai dengan memilih isi di kuahnya yang berdasarkan selera. Entah itu daging saja, hati saja, daging plus hati, atau campur yang di dalamnya terdiri atas daging dan jeroan sapi. Anda pun tak perlu khawatir dengan jeroannya, itu sudah dibersihkan dan direbus.

Selanjutnya anda boleh menambahkan dengan jeruk nipis, bawang goreng, sambal, kecap dan garam sesuka hati. Sebagai pelengkap, biasanya Coto Makassar dimakan dengan ketupat atau nasi. Di Makassar, ada banyak warung yang menjadikan Coto Makassar sebagai menu utamanya. Kalau ke Makassar, tanyakan saja penduduk lokalnya, dimana warung yang Coto Makassarnya paling enak? Anda akan mendapatkan petunjuk dan beberapa nama warung. Karena hanya di Makassar yang paling banyak warung Coto Makassarnya.


Selasa Malam (4 Januari 2011), seorang teman mentraktir saya dan beberapa kawan lainnya di salah satu warung yang ada di Jalan Perintis Kemerdekaan, Makassar. Traktiran itu sebagai acara syukuran telah menerima honor dari bosnya. Di warung Coto Makassar itu, seorang staf berkumis membawa sebaki ketupat yang ditaruh di kepalanya. Hahaha, aku bercanda, dia sungguh bukan staf, dia adalah teman yang mentraktirku. Dia sangat ingin difoto olehku dengan gaya barunya itu.

Tidak hanya dengan tingkah yang aneh, sekali lagi kami menarik perhatian di warung itu. Kali ini bukan karena sibuk foto-foto, bukan karena canda yang mengundang tawa keras kami, tapi karena kami juga bersulang. Hmm, hal yang sungguh tidak biasa di warung itu.

Di warung, ada kejutan lain lagi. Saya tidak menyangka kalau sebaki ketupat itu hampir habis di perut kami bersepuluh. Doyan apa lapar yah? Heh, tapi memang semangkuk Coto Makassar tidak akan mengenyangkan kami kalau tidak dilengkapi ketupat.

Tak terasa, waktu pun berbicara, malam kian larut, diagram tawanya pun mulai menurun, mata semakin berat, dan kami bergegas pulang. Saya mengatakan pada diri saya, kapan-kapan saya akan makan Coto Makassar lagi. Tunggu saja!

Saturday, January 01, 2011

Simply New Year Celebration

Story by. Ahmad Yani Hasti

So much activity. So many cars crowded the highway. So I decided to celebrate the new year with some close friends only, Friday-Saturday (December 31, 2010 - January 1, 2011). I don’t have to walk hundreds of meters because of traffic jams that hit in Makassar, South Sulawesi. We bought a lot of corns. My friends had planed to make Buginese-Macassar special food, it called Barobbo (it’s kind of corn soup). I remember this recipe often practiced by my grandmother when I’m still kid. This food is very simple with a unique taste but fit in our tongue.

First of all, corn must be cleaned and be shredded. Once shredded, the corn put into the pot and cooked. Because my grandmother liked to make Barobbo with a mixture of rice, we would cook corn along with rice. The result was corn soup of Buginese-Macassar also looks like porridge. While waiting for the ripe corn and rice become mush, then the garlic, onion, pepper, and salt pulverized until finely. After boiling water and the corn began to mature, enter the already pulverized spices along with vegetables such spinach. Maturity of corn depends on taste but I’ll suggest that corn should be completely cooked. If not, I'm afraid you are suffering from diarrhea. You also might cook Barobbo mixed with shrimp. Or put chopped fried chicken or fried fish on the top of Barobbo.

While waiting the time switch to a new year, Barobbo left in the pan and keep it warm. Barobbo would be delicious when served warm. For the new year impression, we bough some trumpets. And the hats, we created them by ourself from the existing paper stack. That's because we're stay for environmental campaign "Save the World, Make it Green". If we still could take the advantage for using the existing scraps, Why not? I say use it!


The time has been shown at 12 midnight through, new year begins. The hats already on our head. Barobbo ready filled the stomach. We immediately blew trumpets to enliven the New Year 2011. That's how I celebrate new year this time, with friends and Buginese-Macassar homely cuisine. "Happy New Year!"

Perayaan Tahun Baru yang Sederhana

Story by. Ahmad Yani Hasti

Begitu banyak kesibukan. Begitu banyak mobil yang memadati jalan raya. Jadi saya putuskan merayakan tahun baru dengan teman-teman dekat saja, Friday-Saturday (31 Desember 2010- 1 Januari 2011). Saya tak perlu berjalan ratusan meter karena macet yang melanda Kota Makassar. Kami membeli banyak jagung. Rencananya teman-teman ingin membuat makanan khas Bugis-Makassar, namanya Barobbo (ini semacam sup jagung). Saya ingat resep ini sering dipraktekkan nenekku semasa saya kecil. Makanan yang sangat sederhana dengan rasa yang unik tapi pas di lidah kami.

Pertama-tama, jagung dibersihkan dan diparut. Setelah diparut, jagung dimasukkan ke dalam panci dan dimasak. Karena nenek saya senang membuat Barobbo dengan campuran beras, kami pun memasak jagung bersama dengan beras. Hasilnya sup jagung ala Bugis-Makassar ini juga terlihat seperti bubur. Sambil menunggu jagungnya matang dan berasnya membubur, maka bawang putih, bawang merah, merica, dan garam diulek hingga halus. Setelah air mendidih dan jagungnya mulai matang, masukkan bumbu yang sudah diulek bersama-sama dengan sayur berupa bayam atau kangkung. Kematangan jagung tergantung selera tapi kalau saya boleh sarankan sebaiknya jagung itu benar-benar matang. Bila tidak, saya takut Anda menderita diare. Anda juga bisa memasak Barobbo dengan campuran udang. Atau membubuhkan suir-suir ayam goreng atau ikan goreng di atasnya.

Sambil menunggu waktu berganti ke tahun yang baru, Barobbo dibiarkan di dalam panci dan menjaganya tetap hangat. Barobbo akan nikmat bila disajikan hangat. Agar tetap memberi kesan tahun baru, kami membeli beberapa trompet. Dan topinya, kami buat sendiri dari tumpukan koran yang ada. Itu karena kami sedang menggiatkan “Selamatkan Dunia, Menjaganya Tetap Hijau”. Kalau misalnya kami masih bisa memanfaatkan barang-barang bekas yang ada, kenapa tidak? Gunakanlah itu!


Jam telah menunjukkan pukul 12 tengah malam lewat, tahun baru dimulai. Topi-topi dari koran bekas itu sudah di atas kepala. Barobbo siap mengisi perut. Trompet pun segera kami tiupkan untuk memeriahkan Tahun Baru 2011. Begitulah caraku memeriahkan tahun baru kali ini, bersama teman-teman dan makanan khas Bugis-Makassar yang sederhana. “Selamat Tahun Baru!”

Ewako Visitors

Free counters!

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | free samples without surveys