Ewako Le Coq-Orient

Monday, December 01, 2014

Suramadu: Jembatan Dinamika Global dan Eksistensi Kearifan Lokal

Berpandangan terbuka terhadap pemikiran global. Tetapi tetap memegang teguh nilai-nilai lokal. Kedua pokok pikiran itulah mungkin yang melahirkan istilah glokalisasi. Tetapi apalah itu, saya melihat kedua substansi tersebut telah menjembatani kedua kawasan antara Surabaya dengan Madura.
Suramadu Bridge - Photo by. Hongko Djojo/Source: flickr.com
Kedua kawasan, baik Surabaya juga Madura telah menghasilkan suatu perubahan signifikan yang mengarah kepada selera global. Terciptanya Jembatan Suramadu boleh jadi merupakan salah satu pertanda akan tuntutan perkembangan global tersebut. Kini, di atas laut yang memisahkan kedua wilayah tersebut berdiri bangunan modern yang menambah daya tarik keduanya.

Lantas dari segi nilai-nilai lokal, apa yang masih dipertahankan. Menurut penulis, yakni suatu kearifan lokal berlandaskan agama serta budaya yang melekat pada pribadi bangsa Indonesia. Tak terkecuali Surabaya dan Madura. Tentu ada pemandangan menarik saat berada dalam kerumunan masyarakat, kita akan melihat tata cara berpakaian yang beragam tapi memiliki satu kesamaan identitas yaitu kesederhanaan. Sebagian menggunakan kemeja, kaos, kebaya, batik, atau baju gamis dari arab tapi ditambah balutan sarung dan peci yang mencirikan Indonesia. Demikian itu telah menggambarkan Indonesia selain masyarakat religius juga berbudaya.

Lebih lanjut, jika Surabaya memiliki Rujak Cingur, di Madura sangat terkenal akan satenya. Dan selain makanan, Madura juga memiliki keunikan lain diantaranya rumah adat, maupun industri kerajinan berupa Batik Madura, Clurit, dan Keris. Serta takkan terlupakan adalah budaya Karapan Sapi di Madura yang tak kalah terkenal.
Sate Madura memiliki citarasa tersendiri. Potongan daging ditusuk dan dibakar, kemudian dilumuri saus kecap berbumbu bersama gilingan halus kacang goreng dalam saus tentu menambah nikmat masakan ini.
Source: theendangeredsartorialist.com
Sekarang gambaran keduanya itu mulai tampak. Antara konsep modernisasi pembangunan yang bercitarasa global, dengan sentuhan kearifan lokal yang dimiliki Surabaya dan Madura, keduanya dapat dipadu menjadi suatu kemasan menarik untuk meningkatkan kemampuannya di sektor pariwisata.

Lantas bagaimana kemasan menarik itu dapat memberi profit seperti yang kita harapkan. Salah satunya dengan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki. Berbicara tentang SDM, terus terang, penulis tidak perlu ragu lagi akan kemampuan masyarakat Indonesia secara garis besar, apalagi jika berbicara tentang Surabaya dan Madura. Di sini, terdapat salah satu sosok yang mengemuka dan menurut penulis, sosok itu telah berada dalam rel “Think Globally, Act Locally”. Dia adalah Tri Rismaharini.

Terlepas dari kontroversi penghargaan oleh European Business Assembly (EBA) yang diterimanya. Dibawah kepemimpinannya selaku Walikota, Surabaya telah berkali-kali mendapat penghargaan nasional dan international. Lewat perubahan-perubahan yang dilakukannya untuk Surabaya, sekali lagi membawanya dalam ajang penghargaan World Mayor 2014. Ternyata, wanita berkerudung sederhana ini mampu menciptakan perubahan di Surabaya, dan pemikirannya itu terbukti dapat menarik perhatian masyarakat global.

Meski begitu, Risma, sapaannya, dia tidak terlena dengan arus global yang kita ketahui banyak mendapat pengaruh budaya asing. Walau kini Surabaya dan Madura tengah gencar menjual potensi wisatanya, justru mengapa Risma berkukuh untuk menutup Gang Dolly. Padahal keberadaan Gang Dolly sebagai lokalisasi kegiatan prostitusi akan menjadi “jualan” tersendiri bagi wisatawan mancanegara. Tapi Risma tidak berpikir picik demikian, kegiatan prostitusi itu dianggap hanya mengeksploitasi tubuh wanita untuk kepentingan segelintir orang. Dan aktivitas prostitusi itu tidak sejalan karakter bangsa yang berke-Tuhanan atau religius sebagaimana dalam sila pertama Pancasila.

Dengan menutup Gang Dolly, berarti Risma sadar harus menemukan potensi lain wilayahnya, terutama meningkatkan kualitas potensi yang sudah ada, untuk dapat menarik para wisatawan. Sebagai walikota, Risma juga memiliki fokus dalam meningkatkan kebersihan di Surabaya. Semoga Risma terus melakukan perubahan berarti di Surabaya, sehingga semangatnya memberi pengaruh luar biasa sampai ke Madura dan diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat.

Jika potensi sudah ada, berarti hal yang perlu dilakukan hanyalah tinggal melakukan pengembangan dan meningkatkan tehnik yang selama ini digunakan untuk mendapatkan hasil maksimal. Sayang sekali, penulis belum berkesempatan “terjun langsung” melihat jembatan Suramadu dan seperti apa kondisi kekinian Surabaya dan Madura. Jembatan Suramadu dan Karapan Sapi orang Madura adalah hal yang sangat menggairahkan bagi saya untuk melihatnya secara langsung. Kalaupun saya sedikit tahu dan pernah melihat tentang Surabaya dan Madura, paling hanya lewat bacaan artikel di internet dan tayangan televisi. Sehingga gagasan yang akan disampaikan ini mungkin tidak menyentuh secara tepat.

Tapi, saya telah menyempatkan berkunjung ke beberapa tempat wisata di Indonesia, dan pada dasarnya mereka memiliki masalah yang hampir sama. Berikut ini ide yang saya coba paparkan untuk pengembangan Surabaya dan Madura, khususnya dalam sektor pariwisata.
  • Mengembangkan yang ada dan terus menggali potensi
Mengapa menggali potensi sangat perlu? Karena aktivitas pariwisata sangat bergantung pada minat wisatawan yang beraneka karakternya dan mengalami perubahan seiring perkembangan zaman. Sehingga tidak bisa hanya mengandalkan potensi yang sudah ada dan tidak melakukan inovasi atau pengembangan yang dianggap perlu.

Indonesia dengan berbagai karakteristik masyarakatnya dan keragaman budayanya, sebenarnya sudah cukup untuk menjadi jualan dalam sektor pariwisata. Tetapi dibutuhkan penguatan informasi sehingga hasilnya menjadi tepat sasaran. Beruntung di Madura, sudah memiliki satu modal yang mengemuka di dunia yaitu Sate. Dalam suatu posting berjudul “Your pick: World's 50 best foods” situs berita ternama CNN lewat CNN Travel yang diumumkan pada September 2011 oleh Tim Cheung, Sate menduduki peringkat 14 dari 50 masakan terbaik dunia.

Di posisi pertama ada Rendang yang juga berasal dari Indonesia. Setelah terbit, postingan tersebut menuai kontroversi sejumlah pecinta kuliner mengharapkan makanan favoritnya ada dalam daftar. Tapi demikianlah hasil yang “bicara” dalam daftar itu atas voting lebih dari 35.000 pemilih yang tersebar di berbagai negara. Dalam posting lain, saya dibuat terpukau komentar seorang warga asing mendeskripsikan kecintaannya akan masakan Indonesia. Namanya Reinhard Kuchenbaecker, bila diterjemahkan, sekiranya dia berkata seperti ini, “CNN dapat membuat ribuan daftar/polling atas masakan-masakan lezat dunia, apapun itu tapi makanan terbaik bagiku adalah masakan isteri saya, Sate Indonesia!”
Dalam salah satu posting situs berita online CNN, Reinhard berkomentar akan kekagumannya terhadap masakan Indonesia yang disebut Sate. Source: travel.cnn.com
Hasil voting dan komentar yang disampaikan Reinhard, menunjukkan bahwa Sate sudah menempati hati sebagian masyarakat dunia. Dan boleh menjadi satu kuliner yang akan menambah daya tarik Madura untuk wisatawan lokal dan asing. Masalahnya, sebagian besar turis asal Eropa dan Amerika tidak hanya mementingkan rasa sebagaimana orang Indonesia. Bagi turis Eropa dan Amerika, mata mereka sama laparnya dengan perut mereka. Sebelum mereka melahap makanan tersebut, haruslah makanan itu terlihat menawan. Tak heran kalau kebanyakan turis asing akan berburu makanan di restoran berbintang dan makanan hotel.

Sehingga perlu pengembangan dalam hal mengemas makanan-makanan khas Surabaya dan Madura sehingga dapat menjadi selera internasional. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melibatkan koki terkenal untuk melatih para penjaja makanan dan pemilik warung tentang cara menarik menghidangkan makanan. Jika dilangsungkan secara berkesinambungan, perlahan-lahan kiat menarik menghidangkan makanan tersebut akan membudaya dalam masyarakat.

Tapi apa mungkin hanya gara-gara Sate, wisatawan akan datang ke Madura? Atau apa hanya Rujak Cingur, jadi alasan wisatawan ke Surabaya? Tentunya tak semudah alasan itu untuk mendatangkan wisatawan terutama mereka yang berasal dari negara yang jauh. Maka terkait hal itu, pemerintah Surabaya dan Madura didukung masyarakatnya memiliki pekerjaan rumah. Selain Jembatan Suramadu yang menjadi ikon Surabaya-Madura, atau lebih dari sate dan Karapan Sapi, semua harus terus berupaya menggali potensi wisata yang dimiliki. Ini bertujuan menambah deretan daftar tempat dan hal menarik bagi wisatawan untuk berdatangan.
  • Mau dibawa kemana “Hubungan Kita”
Ini tak seperti anda sedang mendengar penggalan lirik lagu ciptaan Rizal Amaldani yang populer lewat bandnya bernama “Armada”. Tetapi ini tentang “Hubungan Kita” antara masyarakat dengan sampah di Indonesia yang agaknya begitu serius. Dan masalah ini saya pikir tidak luput dihadapi di Surabaya dan kabupaten-kabupaten yang ada di Pulau Madura.

Tentu sangat miris, ketika kita memiliki teman yang datang ke Indonesia, yang hanya bercerita dan memiliki kesan tentang sampah untuk dibagikan saat mereka pulang ke negaranya. Padahal Indonesia ini memiliki keragaman budaya dan keunikan untuk diceritakan. Ini membuatku teringat guyon teman soal sampah. Katanya, “Kalau orang Indonesia ke luar negeri, kita belajar untuk tidak membuang sampah sembarangan. Tapi kalau orang luar negeri datang ke Indonesia, mereka yang belajar buang sampah sembarangan.”

Guyon sekaligus Kenyataan yang memilukan. Dan hal ini benar terjadi. Suatu waktu saya dan temanku kedatangan kenalan baru dari Jepang bernama Masato. Kami sudah demikian akrab dan acapkali membawanya jalan-jalan. Pada kesempatan itu, temanku mengajaknya ke salah satu tempat wisata di Sulsel, tepatnya permandian air terjun Bantimurung. Entah kenapa pada hari itu dia membuang sampahnya di halaman tempat wisata. Pemandangan yang tidak biasa buat kami mengingat sepengetahuan kami Jepang negara bersih dan orang-orang disana terdidik untuk menjaga kebersihan. Jadi temanku bertanya, “Masato! Kenapa buang sampah sembarangan?” Dan dia pun menjawabnya polos menggunakan bahasa Indonesia yang tak begitu fasih, “Oh, saya kira di Indonesia bisa.”

Saya mungkin tertawa dengan jawaban polos Masato, tapi ini jelas tamparan buat saya. Jadi dalam hati saya bertanya-tanya, apa mungkin Indonesia bisa bersih seperti di Jepang? Akankah lebih bersih ketimbang beberapa Negara di Eropa, atau yang paling dekat yaitu Singapura? Pertanyaan ini penting bagiku, karena sangat sering kudapati argumen entah dalam artikel atau cuplikan video semisal youtube, hal yang membuat orang asing tak nyaman di Indonesia adalah soal sampah. Masalah ini akan membuat mereka berpikir dua kali untuk kembali di Indonesia. Dan apabila saya berpikir lebih jauh, pendatang tersebut tentu akan berbagi informasi tentang sampah kepada kenalan mereka. Informasi setengah-setengah itu akan membuat sejumlah orang jadi sangsi atas keindahan yang Indonesia miliki.

Meski akan butuh waktu untuk berubah, bukan tidak mungkin untuk melihat Indonesia bersih di masa-masa mendatang. Prinsipnya, jika negara lain bisa, kenapa kita tidak? Apalagi bersih sudah merupakan bagian dari tuntutan hidup masyarakat Indonesia. Semboyan seperti “Bersih adalah sebagian dari iman” atau “Bersih pangkal sehat” sudah sering kita dengarkan sejak masih di sekolah dasar. Sayang, sebagian masyarakat kita menilai kebersihan itu hanya sebatas kamar atau pagar rumah mereka. Yang seharusnya pikiran itu dibuka untuk pemahaman lebih luas tentang kebersihan. Kebersihan itu melewati kamar dan pagar rumah. Tidak hanya di tempat kerja, tetapi juga di jalan, taman, tempat umum, di seluruh Indonesia, bahkan menjaga kebersihan di seluruh belahan dunia. Bersih itu seharusnya menjadi karakter kita, dimanapun kita berada.

Buanglah sampah ditempat yang semestinya. Nantinya hal itu tidak sekadar menguntungkan pemerintah tetapi juga meningkatkan roda perekonomian masyarakat. Kebersihan itu dapat dikelola menjadi keuntungan, semisal dalam sektor pariwisata. Tempat bersih menciptakan kenyamanan tersendiri bagi wisatawan. Kenyamanan itu diharapkan akan membuat wisatawan terus berdatangan.

Padatnya wisatawan akan sendirinya membuat banyak aktivitas dan produktivitas perekonomian di suatu daerah. Dalam berbagai kelas, akan banyak penginapan atau hotel, warung atau restoran, serta industri kreatif dibangun. Tidak ketinggalan berbagai fasilitas layanan publik akan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Maka pekerjaan pun akan terbuka lebar.

Untuk mendorong hal itu, sosialisasi kebersihan ini harus secara berkelanjutan. Tidak lupa pemerintah harus mendukung penyediaan sarana dan prasarana layanan kebersihan. Bersih saja itu sudah bagus, apalagi kalau bisa memberi keuntungan dalam mendukung kegiatan wisata suatu daerah. Nah, mulai sekarang, kita harus menyatakan “putus hubungan” dengan sampah!
  • Kerjasama dan berbagai pendekatan promosi
Pengembangan pembangunan seperti Jembatan Suramadu untuk menaikkan produktivitas sektor pariwisata selayaknya berjalan beriringan dalam pengembangan beberapa hal. Diantaranya pengembangan di bidang kerjasama dan pemuktahiran promosi dan informasi dengan memanfaatkan berbagai media.

Dan untuk itu, kita perlu belajar dari negara-negara yang memiliki sektor pariwisata yang cerah. Mereka tentu tidak hanya mengandalkan ikon yang mereka miliki tetapi juga menggunakan berbagai langkah promosi dan faktor pendukung lain untuk menunjang kegiatan pariwisata itu. Langkah-langkah itu dapat berupa pemuktahiran kegiatan promosi dan penyebaran informasi. Upaya mereka untuk meningkatkan pariwisata itu yang harus dikaji kemudian diadaptasi untuk mendukung kegiatan pariwisata kita.

Coba akses nama beberapa kota ternama di Perancis dan Italia lewat kolom gambar google! Hasilnya pasti akan membuat anda terpanah. Bangunan atau pemandangan dengan gambar-gambar menarik telah memenuhi dan menghiasi kolom tersebut. Yang salah satu gambar saja telah mampu menggugah gairah melebihi ekspektasi anda daripada yang diungkapkan lewat ratusan kata-kata.

Saya bersyukur saat mengakses dua kawasan yaitu “Makassar” dan “Toraja” di Sulsel, dekat kampung halaman saya. Hasilnya sudah jauh lebih baik daripada sejak saya pertama membuat tulisan penguatan data base online untuk memajukan kegiatan turisme di Sulsel. Juga saat mengakses nama “Surabaya” dan “Suramadu”, tampilan foto-fotonya di situs google sudah menarik namun masih perlu ditingkatkan. Malah yang sedikit disesalkan adalah ketika mengakses nama “Madura”. Disana terlihat beberapa gambar yang tidak jelas menggambarkan tempat tersebut, malah ada beberapa gambar mengerikan yaitu penyakit berbahaya yang menyerang kulit. Bukannya tidak peduli terhadap si penderita, tetapi pastinya bukan gambar seperti itu yang saya harapkan, saat mencoba mengakses informasi daerah wisata yang ingin kutuju.

Beberapa gambar menarik yang muncul di halaman google saat mengakses kata "Suramadu".
Source: google.com
Ini mungkin terkesan remeh-temeh bagi sebagian orang, tetapi saat ini media online sudah memiliki pengaruh yang sangat besar. Sebagian besar orang seperti tidak mau terpisah dengan fasilitas online yang tersedia dalam gadget mereka. Bahkan ketika hendak berjalan atau berwisata ke suatu tempat, maka orang-orang akan mencari informasi mengenai tempat itu, dan cara termudahnya saat ini yakni dengan bantuan google. Maka upaya terbaik terkait ini, adalah meningkatkan kualitas database online baik dengan menggunakan video, foto, serta artikel menarik dalam berbagai bahasa utamanya Indonesia dan Inggris.

Penguatan database online itu dapat didukung dengan mengajak berbagai pihak perusahaan untuk bekerjasama. Menjalin tidak hanya dengan perusahaan lokal, tetapi juga perusahaan asing yang memiliki konsentrasi pasar di Surabaya dan Madura. Perusahaan tersebut diajak untuk mendanai kegiatan-kegiatan lomba menulis terutama lomba fotografi, yang temanya terkait keindahan dan kebudayaan di Surabaya dan Madura.

Kerjasama lain dapat dengan melibatkan penulis skenario dan sutradara handal untuk membuat film-film yang dapat bertemakan apa saja, tapi mengambil latar kebudayaan dan lokasi di Surabaya dan Madura. Di beberapa negara, film menjadi sarana untuk memproklamasikan kebudayaan dan kawasan mereka. Invasi kebudayaan tersebut tidak disadari karena telah dikemas dalam tayangan yang menghibur. Seharusnya hal itu tidak dihindari, tetapi malah perlu diadaptasi dan dijadikan kekuatan dalam mempromosikan pariwisata kita.

Korea Selatan misalnya, terkenal akan boyband dan girlband, yang berseliweran di televisi dan klip-klip video di youtube. Berhasil memukau masyarakat Internasional lewat usahanya yang dirancang selama bertahun-tahun dan memang membuahkan hasil. Lagu yang dinyanyikan bernuansa beat, hip-hop, dan rap, merupakan tipikal selera musik yang tengah digandrungi. Menggabungkan Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dengan Bahasa Korea. Selain vokal grup seperti itu, Korea Selatan juga mampu menghadirkan tontonan film dan drama seri yang membius jutaan penonton, dimana sebagian besar remaja, di seluruh benua. Model, Penyanyi, dan Pemain Film yang ditunjukkan telah melewati beberapa tahap pelatihan dan bedah plastik sehingga lebih menarik untuk dilihat. Dan akibatnya lebih banyak orang, tidak lagi menganggap bedah plastik sebagai sesuatu yang tabu.

Namun poin menarik untuk diambil, meski ternyata ambisi mengikuti selera internasional, unsur kebudayaan Korea Selatan tidak benar-benar hilang. Malahan hal itu dipadukan dan menjadi kekuatan negaranya. Selain bahasa dan dialek, sesekali dalam tayangan video musik, drama atau filmnya menampilkan pakaian tradisional, makanan khas korea, juga pemandangan dan bangunan megahnya. Akhirnya upaya Korea Selatan ini tidak hanya meraup banyak keuntungan dari industri hiburan. Akan tetapi, upaya itu juga memiliki efek samping yang positif terhadap sektor pariwisatanya.

Efek “demam Korea” ini juga sering menyulitkan saya untuk mencari teman jalan saat hendak berwisata di Malaysia atau berbagai pulau di Indonesia. Saat mengajak mereka, saya sering mendapati jawaban ini, “Bro, mending uangnya saya tabung dulu untuk jalan-jalan Korea.” Rupanya pengaruh itu sudah begitu besar untuk mendorong orang-orang bepergian ke sana. Meski itu sekadar berpapasan dengan artis favoritnya. Sebagian lagi malah secara intens mempelajari kebudayaan Korea Selatan dan tidak hanya terbatas mengetahui tempat-tempat wisata menarik. Tapi lebih dari itu, mereka belajar tentang bahasa dan kebiasaan orang Korea serta masakannya.

Surabaya dan Madura bisa melakukan usaha serupa dan tetap dengan memperkuat unsur lokal yang dimilikinya. Di Indonesia malah kita punya sutradara terkenal bernama Gareth Evans. Pria kelahiran Wales yang beristerikan orang Indonesia. Sejumlah film laga berlatarkan Indonesia dia “harumkan” ke kancah perfilman internasional termasuk ke Hollywood. Dua film yang sukses membawanya ke industri hiburan di Hollywood adalah “The Raid: Redemption” dan “The Raid 2”. Jadi kepikiran, kenapa tidak mengajaknya bekerjasama dalam membuat film yang berlatarkan Surabaya dan Madura.

Karapan Sapi yang merupakan salah satu kebudayaan khas Madura dan masih bertahan hingga saat ini.
Photo by.Saiful Bahri/ Source: antarafoto.com
Bersama Gareth mungkin akan ada pemeran utama yang doyan makan sate. Terus mungkin akan ada aksi kejar-kejaran di Jembatan Suramadu. Atau tidak harus film laga, bahkan mungkin Gareth akan mencoba film dengan genre yang berbeda. Semuanya itu mungkin hanya ide yang gila untuk diwujudkan tapi sungguh sangat disesalkan jika kita tak mampu memaksimalkan potensi dan sumber daya yang dimiliki. Dan yang paling menyedihkan jika kita tak pernah mau mencoba.


Tuesday, September 16, 2014

Wonderful Indonesia: Alasan Tepat Bepergian ke Raja Ampat

Story by. Ahmad Yani Hasti

Begitu banyak pertimbangan mengapa Raja Ampat pantas mengisi daftar perjalanan anda. Dimana para pelancong dari berbagai belahan dunia berdatangan. Alasan yang sama mengapa saya ingin menjadi bagian perjalanan menjelajahi keindahan tersembunyi di Timur Indonesia tersebut.


Source: remotelands.com
Raja Ampat memiliki kesenangan yang disebut keindahan alam. Pemandangan yang terlihat dari dataran tinggi di kawasan Raja Ampat benar-benar menawan mata. Pandangan para turis akan tertawan dengan keindahan alam yang dihadirkan di sana, khususnya keindahan pemandangan bawah lautnya.

Raja Ampat menjadi kabupaten di Papua Barat yang mampu bersaing dalam kancah pariwisata internasional. Terdiri atas gugusan-gugusan pulau besar dan kecil yang jumlahnya melebihi 600 pulau. Sebanyak 35 pulau yang telah berpenghuni, sementara sebagian besar belum dieksplorasi dan masih perawan. Ada empat pulau besar yang namanya dikaitkan dengan mitos warga setempat dan menjadi cikal-bakal penamaan Raja Ampat. Diantaranya Pulau Misool, Salawati, Batanta, dan Waigeo.

Pulau-pulau di kawasan Raja Ampat ini jadi tempat beraneka ragam spesies hewan berkembang biak dan berbagai jenis tanaman bertumbuh. Sementara itu, wilayah laut Raja Ampat yang luasnya lebih kurang 80 persen juga menjadi surga bagi banyak biota laut. Keragaman merupakan kunci bagaimana membuka pintu kesenangan bagi perjalanan anda selama di Raja Ampat.

Para ahli yang datang dari Conservation International, The Nature Conservancy, dan Lembaga Oseanografi Nasional pernah melakukan riset pada 2001 dan 2002 di sana. Mereka mencatat lebih 540 jenis karang, 1.000 lebih spesies ikan, dan 700 jenis moluska yang hidup di Raja Ampat. Daftar biota laut tersebut mengukuhkan kabupaten Raja Ampat sebagai situs penyelaman bertaraf internasional. Diklaim memiliki 75 persen spesies karang yang ada di dunia. Dan tak satupun kawasan dengan luas area yang sama memiliki spesies karang sebanyak itu.

Usaha konservasi terus digiatkan guna melestarikan biota laut di sana. Bahkan sampai saat ini, rute transportasi laut yang melintasi Raja Ampat dibatasi demi mendukung usaha itu. Hal seperti ini tentu membuat anda harus mengeluarkan biaya ekstra untuk mengakses tempat tersebut. Namun sisi terbaiknya, cara demikian dilakukan justru untuk menjaring pengunjung yang berdatangan. Biaya besar yang harus dikeluarkan mendorong calon pengunjung agar mampu mengakses informasi yang tepat mengenai tempat tersebut. Sehingga hanya pengunjung yang berkualitaslah yang mungkin datang ke Raja Ampat. Cara itu dipandang bisa membantu untuk menjaga kelestarian biota laut di sana.

Source: remotelands.com
Sejumlah penyelam mancanegara yang berhasil ke sana pun memberikan pengakuan positif terhadap Raja Ampat. Dianggap salah satu situs penyelaman terbaik yang ada di dunia dan mengapresiasinya sebagai situs terkaya akan biota lautnya.

Bagi mereka yang tak pandai menyelam ataupun berenang seperti saya. Tak perlu bimbang! Tempat ini menjamin kesenangan bagi wisatawan dengan pilihan perjalanan menarik lainnya. Misalnya melintasi pulau dengan perahu sambil melihat-lihat pemandangan. Atau anda ingin menjelajahi langsung pulau-pulau tersebut dan berada di ketinggian. Pemandangan tempat ini begitu asri dan indah untuk dinikmati wisatawan pecinta alam dan penggila fotografi.

Coba buktikan dengan mengakses nama Raja Ampat di internet. Seketika gambar-gambar hasil jepretan sejumlah fotografer dunia bermunculan dan bisa memesona anda seperti saya. Mulai dari fotografer amatir hingga profesional, jepretannya mampu menunjukkan keindahan Raja Ampat dengan baik. Entah yang nampak di bawah laut ataupun daratannya, keindahan itu mampu membius dan menggoda orang-orang datang ke sana. Minimal begitu yang kurasakan. Dan saya pribadi berharap memiliki kesempatan, setidaknya sekali dalam hidupku bisa bertandang ke sana.

By. Adam Plezer/ Source: vimeo.com
Adanya kehidupan alam liar dengan beragam spesies langka dan endemik di sana juga menambah daftar rangkaian perjalanan anda. Akan ada berbagai jenis burung dan mamalia yang mungkin baru pertama kali anda temui. Anda pun dapat mengunjungi gua kelelawar atau ikut serta memberi makan kuskus.

Tak berhenti sampai di situ, Raja Ampat juga menjanjikan pengalaman baru dengan perjalanan budaya yang sulit untuk dilupakan. Dengan tur perjalanan tertentu, anda akan diajak memancing. Yang istimewa karena kita akan menggunakan tehnik tradisional ala Papua dan dibantu oleh penduduk aslinya. Selain itu, anda juga akan membuat patung kayu sendiri dibimbing seniman suku asmat yang menetap di sana.

Mangarungi pulau-pulau dengan berperahu, menyelam, berenang, snorkeling, memotret pemandangan alam, melihat-lihat cendrawasih, mengunjungi gua kelelawar, memberi makan kuskus, perjalanan budaya. Semua rangkaian perjalanan itu, bukankah membuat anda merasa benar-benar jauh dan terlepas dari segala hiruk-pikuk dunia. Jika anda menginginkan itu, Raja Ampat layak mendapat tempat dalam agenda perjalanan anda. Bukan begitu?

Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Raja_Ampat
http://indonesia.travel/id/destination/248/raja-ampat

Sunday, August 03, 2014

Mari Kumpul dan Berwisata ke Bedugul

Sejatinya, ini merupakan kisah perjalanan ke Bali bersama beberapa rekan kerja dari kantorku. Terima kasih untuk yang saya hormati Bapak Izaac Lawalata, Koko Yoppy Yunus, Bunda Darmawati Mansyur, Bunda Ipa Mahmud bersama keluarga, teman-teman dekatku Sugianto Tahir, Arman, Ansar, Rezki Prayoga, si Cantik Anita, yang luar biasa kak Ruth Melyanie, Eka Darmayanti, serta Bunda Siti Syamsufiah dan keluarganya. Terima kasihku untuk mereka semua yang telah melengkapi perjalananku selama di Bali.

Photo by. Ahmad Yani Hasti --- Sabtu (2 Agustus 2014), rekan-rekan kantor PT. Bank Mega Cabang Parepare melakukan foto bersama di sekitar pintu masuk Pura Ulun Danu Beratan, Bedugul.
Story by. Ahmad Yani Hasti

Saya akan ceritakan satu guyonan tentang seorang pemuda yang memohon doa di depan sebuah patung. Guyon ini telah diubah dan aslinya dapat didengar lewat film Eat, Pray, and Love (2010) yang diperankan Julia Roberts. Dia berkata, “Ya Tuhan! Aku benar-benar ingin pergi ke Bali.” Tiba-tiba, patungnya bergerak dan berbicara,”Anakku! Belilah tiket! Belilah tiket! Kumohon, Belilah tiket!” Dia tersenyum dan akhirnya sadar bahwa tak ada satupun yang dapat membantunya melainkan dengan usahanya sendiri.

Demikian halnya perjalanan kali ketiga saya ke Bali. Tak pernah kuduga dengan waktu dan isi dompet yang terbatas, masih saja dapat mewujudkan jalan-jalan ke Bali untuk kedua kalinya dalam tahun ini. Tuhan membukakan jalan, dan kami mencari cara dan berusaha mewujudkan tujuan tersebut. Alhasil, dengan berbagai ide yang dituangkan teman-teman, kami akhirnya dapat baramai-ramai berangkat ke Bali.

Di awal bulan, tepat pada tanggal 1 Agustus 2014 pukul 11.00 siang, kami semua tiba di Bandar Udara Internasional Ngurah Rai, Bali. Banyak yang baru pertama kali menginjakkan kaki di sini, dan mereka mengaku sangat menikmati perjalanan yang ada. Kesenangan itu tidak cukup bagiku di awal perjalanan. Saya merasa kehilangan jiwa, mengingat Bedugul, tempat yang sangat ingin kutuju tidak masuk dalam rangkaian rute perjalanan yang kami tempuh.

Photo by. Ahmad Yani Hasti --- Jumat (1 Agustus 2014), kunjungan trip hari pertama di GWK, Bali. Nona dan ibu-ibu cantik dari kantorku berpose depan Patung Dewa Wisnu. (Berjilbab ungu; Anita, Berkaos dan tas merah: Ruth Melyanie, Berpakaian hitam: Darmawati Mansyur).
Dua kali pertemuan di Bali, sebelumnya tidak pernah ada kesempatan ke Bedugul. Tak heran, saya begitu berhasrat untuk mendatangi tempat ini. Apalagi setelah mengetahui bahwa Pura Ulun Danu Beratan di Bedugul, begitu terkenal. Dan gambarnya sering digunakan dalam kalender serta media-media promosi wisata Bali. Baik dalam media cetak maupun online.

Tapi entah bagaimana, Sabtu itu (2 Agustus 2014), saya ditakdirkan untuk berkunjung ke Bedugul. Ada-ada saja masalah teknis, sehingga rute yang ada tidak dapat dilanjutkan. Dan ini menguntungkan saya. Semua rekan akhirnya sudah setuju untuk mengalihkan rute perjalanan wisatanya ke Bedugul. Kini jiwaku telah sepenuhnya kembali. Hanya senyuman di wajahku yang dapat melukiskan rasa senangku Sabtu itu.

Photo by. Sugianto Tahir --- Sabtu (2 Agustus 2014), saya berfoto berlatarkan Pura Ulun Danu Beratan, Bedugul, yang nampak di belakangku. Tempat ini menarik dan nyaman untuk menikmati udara pagi dan menghabiskan senja.
Perjalanan ke Bedugul sungguh telah menjawab rasa penasaranku. Jalan ke sana dipenuhi dengan pemandangan yang menghijaukan mata. Banyak pepohonan dan tumbuhan asri bertumbuh hingga ke tepi jalan. Di sekitar kawasan Bedugul yang sejuk dan tanahnya subur, banyak ditumbuhi tanaman stroberi. Dan kalau mau, anda bahkan bisa mampir ke kebun stroberi yang ada di sana.

Selain kebun stroberi, terdapat tempat-tempat menarik lain yang sering dihampiri saat bertandang ke Bedugul. Anda bisa mampir di Kebun Raya Bedugul untuk menyaksikan beberapa jenis burung beterbangan liar dan menjumpai ribuan spesies tanaman. Ada juga Pasar Candi Kuning dimana pengunjung dapat membeli baragam jenis sayur dan buah-buahan. Dan tidak ketinggalan pesona wisata Pura Ulun Danu yang dibangun di tepi Danau Beratan.

Tak banyak tempat yang kami singgahi. Hanyalah Pura Ulun Danu Beratan yang berhasil saya datangi. Setiba di sana, mata kita akan dimanjakan bangunan khas arsitektur Bali. Biasanya, terdapat tiga unsur yang harus terpenuhi. Pertama, bangunannya harus berharmonisasi dengan alam. Kedua, memiliki struktur ruang-ruang yang rapi. Dan unsur ketiga, terdapat berbagai ukiran dan juga patung. Ketiga unsur tersebut benar-benar dapat pengunjung saksikan di sana.

Menariknya, pura yang dibangun di tepian danau tersebut, bila dilihat dari sudut yang tepat akan tampak seolah-olah air menggenangi sekeliling pura. Terutama saat volume air cukup tinggi, pemandangan serupa akan jelas terlihat. Sudutnya yang unik itulah yang diabadikan kebanyakan fotografer dan kemudian menghiasi iklan promosi wisata Bali. Rekan-rekanku berbahagia bisa mendapat kesempatan berfoto di sini.

Photo by. Ahmad Yani Hasti --- Sabtu (2 Agustus 2014), potret salah satu Pura yang daya tariknya mampu mendatangkan banyak wisatawan mancanegara ke Pulau Bali. Dikenal dengan sebutan Pura Ulun Danu Beratan dan terletak di kawasan Bedugul.
Sebelum meninggalkan Bedugul dan bergegas ke tempat lain di Bali, kami mampir makan siang di salah satu restoran buffet yang ada di sini. Harga yang ditawarkan senilai 80.000 rupiah per orang dan anda sudah bisa mencicipi makanan sepuasnya. Dengan negosiasi yang cukup alot, rombongan kami berhasil mendapatkan harga yang jauh lebih murah.

Ada perbedaan antara orang Indonesia dengan orang asal Eropa-Amerika. Orang Indonesia lebih mementingkan rasa dan tidak begitu perduli dengan tampilan makanan. Sementara, orang asal Eropa-Amerika, selain perut, matanya juga harus dibuat kenyang sehingga tampilan makanan menjadi sangat penting. Di restoran buffet yang kami singgahi mampu menggabungkan keduanya. Antara citarasanya yang enak dengan tampilan yang unik bagi turis mancanegara. Kenikmatannya, sampai-sampai membuat kedua turis asing di sebelah mejaku, makannya dua kali lipat lebih besar dan lebih banyak dari porsi yang kumakan. Saya takkan bicara banyak mengenai rasanya. Dan tidak akan mengungkap berapa harga yang kami peroleh. Karena sebaiknya anda datang kemari untuk menawar dan mencicipi sendiri makanannya.

Photo by. Ahmad Yani Hasti --- Makanan yang dihidangkan di salah satu restoran buffet yang terletak tak jauh dari lokasi Pura Ulun Danu Beratan, Bedugul, Sabtu (2 Agustus 2014).
Usai meninggalkan Bedugul, jalan-jalan dilanjutkan ke tempat menarik lainnya di Bali hingga keesokan harinya, Minggu (3 Agustus 2014). Dan minggu tersebut, menjadi malam terakhir kami berada di Bali. Pesawat dari Bali pun membawa kami menuju Kota Makassar untuk kembali ke kediaman masing-masing. Di Bandara Hasanuddin, senyum yang berbeda-beda terpancar dari wajah rekan-rekan seperjalananku. Ada yang lelah, ada yang tak kenal lelah, ada yang kehilangan barang dan sebagainya. Tapi satu yang jelas, mereka memiliki pengalaman baru dari Bali untuk mereka ceritakan bersama kerabat dan sahabatnya.

Saturday, March 22, 2014

Jelajahi Keindahan Pulau Seribu Pura

Sebelum saya berbagi cerita, terlebih dahulu saya ingin menyampaikan terima kasihku untuk keluarga dan teman yang telah banyak mendukung serta membantu perjalananku selama di Bali. Terima kasih untuk Bunda Yelli (Ai Li Fa), Abang Rivai, Mbak Nia, Henny Purnamasari, Venny Purnamasari, Yuni Purnamasari dan Juniardi atas perjalanan yang mengasikkan ini. Tidak lupa terima kasihku juga untuk Beli Wayan yang telah mengantar kami berputar-putar menjelajahi Bali dengan mobilnya yang bersih.
Photo by. Ahmad Yani Hasti --- Sabtu (22 Maret 2014), berpose depan gerbang masuk Tanah Lot.
(Dari kiri ke kanan: Ai Li Fa, Henny Purnamasari, Yuni Purnamasari, Venny Purnamasari, Mbak Nia, dan Abang Rivai.)
 Story by. Ahmad Yani Hasti

Ada magnet tersendiri antara hati ini dan Pulau Bali yang membuatku ingin terus kembali mengunjungi Negeri Seribu Pura tersebut. Lagi dan lagi, tak pernah terlintas kata bosan. Di sisi lain, Bali memang memiliki banyak hal untuk ditawarkan kepada para wisatawan lokal dan mancanegara.

Berbekal tiket gratis yang disodorkan kawanku, segera saya menempuh perjalanan udara selama satu jam lebih dari Makassar menuju Denpasar. Rasa senang menyelimuti hati saat menginjakkan kaki lagi di Pulau Bali. Rabu (19 Maret 2014), jelang tengah malam, sekitar pukul 23.15 waktu setempat, saya tengah menghirup udara malam Kota Denpasar. Tak sabar bertemu pagi ingin memulai perjalanan jilid keduaku di Bali sembari melihat hal-hal yang mungkin ditawarkan pulau ini kepadaku.

Pagi yang dinantikan tiba, tapi cuaca benar-benar tidak mendukung untuk melakukan perjalanan hingga Kamis siang itu (20 Maret 2014). Hujan terus bercucuran dan hanya itu yang dapat kami pandangi dari jendela mobil. Saya bersama keluarga besar Venny Purnamasari tampak lemas dan bingung dengan kondisi tersebut. Ditengah kebingungan kami, Beli Wayan pun menawarkan tumpangan ke salah satu rumah makan yang menyajikan kuliner khas Bali. Sajian khas warung itu dinamakan Ayam Betutu. Terdapat dua pilihan yakni berkuah dan digoreng. Warnanya kekuningan diberi kunyit. Selain itu, rasanya unik juga enak dengan sensasi pedas dari campuran cabai dan merica yang menyatu dalam bumbunya. Mantap pokoknya!

Photo by. Ahmad Yani Hasti ---
Kamis (20 Maret 2014), menikmati Ayam Betutu di salah satu warung makan di Bali.
Usai makan, cuaca pun menjadi sedikit lebih bersahabat. Makanannya ludes kami cicipi, hanya tersisa rintik-rintik hujan menemani. Hal itu tidak lagi menjadi penghalang kami untuk jelajahi Pulau ini. Pura maupun bangunan-bangunan serupa itu, mulai terlihat jelas melalui kaca jendela mobil yang ditumpangi. Karakteristik semacam ini yang membedakan Bali dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia. Jika di tempat lain kita melihat banyak Masjid atau Gereja mengisi sudut-sudut kota, di Bali kita akan melihat banyak Pura. Inilah sedikitnya alasan mengapa Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu disebut pula dengan sebutan Pulau Seribu Pura.

Di setiap Pura umumnya terdapat karya seni antara lain pahatan batu, pahatan kayu, maupun lukisan yang menyerupai Dewa-Dewa. Di rumah-rumah, toko-toko di pinggir jalan, hotel maupun tempat wisata, benda-benda yang berbalut dengan bentuk yang menyerupai Dewa ini begitu mudah ditemui. Ini dikarenakan tuntutan kepercayaan masyarakat Hindu-Bali adalah memohon perlindungan dan keselamatan kepada Para Dewa. Tak heran, Bali mendapat julukan lain dikenal sebagai Pulau Dewata. Dewata yang juga berarti Dewa dalam bentuk jamak yaitu Para Dewa.

Photo by. Venny Purnamasari ---
Berfoto bersama di salah satu pintu gerbang GWK, Kamis (20 Maret 2014).
Siang itu, saya tidak ingin kehilangan kesempatan untuk memandangi patung Dewa Wisnu berukuran raksasa dengan tunggangannya bernama Garuda. Patung ini terletak di Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana yang biasa disingkat GWK. Meski saat itu hujan masih rintik-rintik, tetap saja sesi foto-fotonya terus berlanjut. Di samping Patung Dewa Wisnu terdapat sumber mata air keramat yang disebut Parahyangan Somaka Giri. Air sucinya dipercaya dapat menyembuhkan beragam penyakit dan mengabulkan berbagai permohonan.

Photo by. Venny Purnamasari ---
Tampak di belakang saya yaitu Patung Dewa Wisnu yang berukuran raksasa.
Di GWK juga terdapat tontonan menarik berupa tarian tradisional dengan aksi berbeda-beda setiap hari. Jika beruntung, pengunjung dapat menyaksikan Tari Kecak yang terkenal mendunia. Hanya saja pada kesempatan itu, saya tidak seberuntung itu. Waktu saya tersita dengan tarian Bali lainnya yang juga sangat menghibur, diantaranya Tari Pendet, Tari Baris, maupun Tari Barong. Para penari terlihat sangat lihai memainkan matanya.

Photo by. Ahmad Yani Hasti --
Kamis (20 Maret 2014), salah satu pagelaran tarian Bali yang dapat disaksikan di GWK.
Perjalanan berlanjut ke kawasan Nusa Dua dimana banyak hotel-hotel mewah berjejeran. Di sana kami melewati pantai serta taman yang ditumbuhi rumput hijau dan pepohonan yang segarkan pandangan. Tak ketinggalan, kami mampir menyaksikan ombak menghantam dengan derasnya ke karang besar yang berdiri kokoh di sana. Orang-orang menyebut tempat itu Water Blow.

Tujuan berikutnya adalah Pantai Pandawa. Nama pantai ini diambil dari tokoh-tokoh pewayangan yaitu Panca Pandawa atau Pandawa Lima. Untuk ke sana, kita akan melewati tebing-tebing kapur yang di dalamnya dibangun patung-patung serupa tokoh-tokoh pewayangan tersebut. Pantai ini belum terlalu terjamah dan masih terus dilakukan pengembangan oleh pemerintah setempat.

"Feel the Water" - Photo by. Ahmad Yani Hasti,
Model: Yuni Purnamasari, Location: Pandawa Beach.
Menjelang malamnya, kami bergegas menuju kawasan Jimbaran. Disana berbanjar restoran-restoran yang menyajikan hidangan laut. Meski ada banyak restoran, tapi pilihan kami tertuju ke suatu restoran yang bernama Ganesha. Sesampainya di sana, kami harus merogoh kocek sedikit dalam. Karena biaya makan dan minum relatif perorangnya berkisar Seratus ribu hingga Dua ratus ribu rupiah. Tapi itu setimpal dengan kelezatan menu masakan lautnya. Kesegarannya begitu terasa di mulut.

Selain itu, pelayanan dan suasananya juga sangat mendukung. Sembari menikmati hidangan, dari arah pantai, keindahan matahari tenggelam dapat disaksikan di sana. Kelembutan pasir putihnya terasa di setiap sela-sela kaki. Bersamaan itu, udara sepoi-sepoi pantai pun laiknya ikut membelai kulit kami dengan lembut. Perut sudah terisi, selanjutnya tinggal mengisi tenaga untuk perjalanan esok harinya. Maka kami pun kembali ke rumah milik sahabat dan keluarga kami, yaitu Abang Rivai dan Mbak Nia.
Photo by. Ahmad Yani Hasti --- Jumat (21 Maret 2014), Yuni Purnamasari didampingi Juniardi tengah menikmati panorama alam yang indah di sekitar Tegallalang, Ubud.
Jumat pagi (21 Maret 2014), mobil mulai bergerak dari kediaman Abang Rivai menuju arah Ubud. Di sana kami berhenti di suatu pemandangan hijau yang menyita perhatian kami. Terasering yang demikian bersusun rapi di kawasan Tegallalang, Ubud. Setelah foto-foto, kami melanjutkan perjalanan ke Kintamani. Kawasan ini terkenal akan kesejukannya disertai pemandangan yang indah. Dari puncak Kintamani, kami bisa melihat Gunung Agung berdampingan dengan Gunung Batur dan Danau Batur. Indahnya!

Ada pengalaman unik saat di Kintamani. Kami ditawarkan beberapa barang dengan harga yang terbilang tinggi. Kebetulan kami tidak tertarik dengan barang-barang yang ditawarkan karena sebelumnya kami sudah berbelanja di Toko Krisna yang terkenal di Bali. Kami tidak bermaksud acuh, tetapi kadang-kadang hal itu perlu bila banyak penjual yang mengejar-ngejar. Terlebih lagi suasana tidak nyaman dan suara ribut yang dihadirkannya. Dan nyatanya justru sikap acuh itu yang memberi kami suatu ilmu baru berbelanja di Bali. Lama-kelamaan, para penjual mulai mengungkapkan harga yang sebenarnya dari barang tersebut. Harga baju kaos tipis bergambar tulisan bali yang semula ditawarkan sebesar Rp.100ribu telah turun 10 kali lipat menjadi Rp.10ribu saat kami sudah di pintu mobil bergegas pulang. Harga itu betul-betul murah karena sudah setengah harga dari barang sejenis di Toko Krisna. Sedikit seperti judi, kalau beruntung dapat murah, sialnya anda mungkin akan berkata: kena deh! Jadi kalau mau dapat barang murah, pura-pura saja tidak mau beli! Heh.
Photo by. Ahmad Yani Hasti --- Jumat (21 Maret 2014), Venny berpose di atas kawasan Kintamani dengan pemandangan Danau Batur di hadapannya sembari menunjukkan tato temporary yang baru dipakainya. Di Kintamani, banyak yang menawarkan jasa pemasangan jenis tato temporary tersebut kepada turis.
Pengalaman serupa dapat juga dirasakan saat berbelanja di pasar-pasar tradisional. Pembeli harus pandai-pandai menawar. Pesan saya, menawarlah dengan sadis! Kalau tidak mau merasa ditipu mengenai harga, berbelanjalah di toko-toko souvenir yang menawarkan harga ideal untuk anda seperti Krisna atau Erlangga. Sementara untuk pemburu barang-barang unik, anda dapat berbelanja oleh-oleh di Joger yang hanya ada di Bali.

Dari Kintamani kami berangkat ke Pura Tirta Empul yang terletak di Kecamatan Tampaksiring, Gianyar. Bagi sebagian orang, pura tersebut lebih dikenal dengan nama Tampaksiring. Pura ini sarat budaya dan merupakan salah satu situs sejarah di Bali. Belum lagi seisi Pura terdapat taman dengan kolam-kolam di sekitarnya yang menambah daya tarik pura. Selain ada kolam ikan, di tempat ini juga terdapat kolam dimana masyarakat Hindu Bali melaksanakan tradisi yang disebut melukat, yaitu ritual mandi air suci. Ritual mana yang bertujuan untuk membersihkan jasmani dan rohani. Jika ingin, ritual tersebut boleh juga dilakukan pengunjung. Dan sebaiknya pengunjung menyimak setiap pesan penjaga Pura, mengingat tempat-tempat yang dianggap suci seperti pura ini terdapat hal-hal yang dibolehkan dan dilarang.

Photo by. Ahmad Yani Hasti --- Jumat (21 Maret 2014), sejumlah pemuda sedang melakukan prosesi "Melukat" di kolam air suci yang berada di Pura Tirta Empul, Tampaksiring, Bali.
Lalu kami kembali ke Ubud untuk makan siang. Tepatnya di restoran bernuansa alam bernama Bebek Tepi Sawah. Dari depan memang restoran ini terlihat kecil. Ketika sudah berada di dalam, pengunjung akan melihat luasnya hamparan sawah di sekitar restoran yang elegan tersebut. Pemandangan hijau yang dihadirkan dari sawah serta gunung memberi pandangan yang sejuk. Seisi restoran yang serba terbuka itu dipenuhi dengan interior khas Bali dan pelayan-pelayannya menggunakan pakaian tradisional Bali. Hidangan bebeknya dapat disajikan dengan digoreng biasa, menggunakan bumbu crispy, ataupun dipanggang. Yang paling penting, hidangan bebeknya tidak berbau, dan disajikan dengan tiga jenis sambal yang berbeda. Bahkan bila tidak suka makan bebek, pengunjung dapat memilih menu lainnya. Dan berbicara mengenai rasa, saya yakin restoran ini akan memanjakan lidah anda. Usai makan, sebelum pulang beristirahat di rumah Abang Rivai, kami mampir ke Pantai Kuta menghabiskan senja dan melihat matahari terbenam.

Keesokannya, nampak sinar mentari mulai masuk melalui celah-celah dinding kamar menandakan pagi kunjungan terakhir kami di Bali, Sabtu (22 Maret 2014). Sebelum ke Bandara pada sore harinya, kami menyempatkan diri berkunjung ke Tanah Lot. Di sana terdapat dua pura. Salah satunya terletak di atas batu karang besar. Bila air pasang, pura di atas bongkahan batu ini akan terlihat seolah-olah berada di tengah laut. Satunya lagi, pura yang dibangun di atas tebing yang menjorok ke laut. Tak sedikit fotografer mengabadikan tempat ini sebagai objek atau latar fotonya, terutama saat petang atau matahari terbenam.

Photo by. Ahmad Yani Hasti,
Model: Venny Purnamasari, Location: Tanah Lot.
Keindahan Bali ini rasanya sangat sulit untuk ditinggalkan. Namun pada akhirnya, waktu juga yang menentukan kami harus beranjak dari pulau seribu pura tersebut. Sore harinya, kami bergegas ke bandara untuk menaiki pesawat yang akan mengantar kami ke Makassar. Kami harus kembali kepada keluarga, rumah, dan pekerjaan kami. Perjalanan singkat ini benar-benar terbayarkan dengan segala keindahan dan pengalaman yang didapatkan di Bali. Dengan keberangkatanku sore itu, bibirku tak ingin mengucapkan salam perpisahan. Jadi kalimatku untuk Bali: Sampai jumpa lagi!

*Kebijakan mengenai harga dapat berubah setiap saat.

Ewako Visitors

Free counters!

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | free samples without surveys