Ewako Le Coq-Orient

Monday, December 27, 2010

Tana Toraja Another Night


Story by. Ahmad Yani Hasti

Silent night, holy night; All is calm, all is bright; Round yon Virgin Mother and Child; Holy Infant so tender and mild; Sleep in heavenly peace; Sleep in heavenly peace… -Silent Night Lyrics-

There is something special in Tana Toraja, when I visited this Friday Night (December 24, 2010). Yes, it's holy night for Christmas time. Christmas day become a big celebration day for Christians. Indonesia launched its National Christmas Event in Makale, Tana Toraja. Several ministers and state officials came and some of them also celebrate for Christmas here.

National Christmas Event centered on the church “Gereja Katolik Hati Tak Bernoda”. And wow, there are over 3,000 Christians who worship in this church.

Privileges of Night for Christmas celebrations this year in Tana Toraja is the integration with the culture of Toraja. Devotional songs such as Silent Night was sang in the language of Toraja. In addition, also presented Toraja Dance, and Toraja bamboo typical music rebound.

In this celebration of Christmas I had the opportunity passed directly to the Menteri Perdagangan (Minister of Trade Indonesia) Mari Elka Pangestu. Madam Minister seemed wise to follow a session of this Christmas celebration.

"It's incredible the Torajan people celebrate Christmas by integrating between worship, culture and local traditions," said Mari Elka after attending the Christmas Eve at Gereja Katolik Hati Tak Bernoda on Friday night.

Mari Elka Pangestu, who also the chairman of committee in National Christmas Event said that celebration initially select for multiple areas, including in the disaster area at Merapi, Yogyakarta, and the Mentawai Islands, West Sumatra. But, Tana Toraja become the final decision.

After the Mass of Christmas, a number of firecrackers were tone up the night in Tana Toraja, South Sulawesi.

Malam Lainnya di Tana Toraja


Story by. Ahmad Yani Hasti
Malam kudus, Sunyi senyap; Dunia terlelap; Hanya dua berjaga terus; Ayah bunda mesra dan kudus; Anak tidur tenang; Anak tidur tenang…
–Lirik Malam Kudus-

Ada yang spesial di Tana Toraja saat saya berkunjung Jumat Malam ini (24 Desember 2010). Ya, ini Malam Kudus untuk perayaan Natal. Natal merupakan perayaan besar bagi umat kristiani. Indonesia menggelar Kegiatan Natal Nasional di Makale, Tana Toraja. Beberapa menteri dan pejabat negara hadir dan adapula yang menyelenggarakan natal di sini.

Perayaan natal nasional berpusat di Gereja Katolik Hati Tak Bernoda. Dan wow, ada lebih 3.000 umat kristiani yang beribadah di gereja ini.

Keistimewaan perayaan malam natal tahun ini di Tana Toraja adalah adanya integrasi dengan kebudayaan Toraja. Lagu-lagu kebaktian seperti “Malam Kudus” dilantunkan dalam bahasa Toraja. Selain itu, dihadirkan juga tari-tarian Toraja, serta lantunan musik bambu khas Toraja.

Dalam perayaan natal ini saya mendapat kesempatan berpapasan langsung dengan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu. Ibu menteri tampak hikmat mengikuti sesi perayaan natal ini.

“Sangat luar biasa Masyarakat Toraja merayakan Natal dengan mengintegrasikan antara ibadah, budaya dan tradisi lokal,” kata Mari Elka seusai menghadiri kebaktian malam natal di Gereja Katolik Hati Tak Bernoda, Jumat malam.

Mari Elka Pangestu yang juga Ketua Panitia Natal Nasional mengatakan pusat perayaan Natal awalnya memilih beberapa daerah, termasuk di daerah bencana di Merapi, Yogyakarta, dan Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Tapi, Tana Toraja yang menjadi keputusan akhirnya.

Usai Misa Natal, sejumlah petasan pun memeriahkan malam di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

Monday, December 20, 2010

My December in North Toraja

Story by. Ahmad Yani Hasti

This is another journey in search meaning of life, on Friday afternoon (December 10, 2010). The sides that I found here are splendor and originality. I’m glad to be able to travel at the end of this year in North Toraja. I found a lot of local cultures here. Their authenticity still stored and also maintained by community of Toraja.
Finally, North Toraja! Here I am. Be with agricultural green lands pomp and a lot of stories about North Toraja. Maybe, I dont have enough time to explore and discover a lot of stories because the limitations of my time in here. But I'll write a few story and hoping to find so much passion from readers to make travel here. In addition, I hope you find more stories on North Toraja.

My first visit at the Museum of Ne' Gandeng. I saw architecture that so captivating by traditional houses line up neatly in here. Traditional house in here called tongkonan.

Next visit to the traditional village in Palawa. Why is called traditional village because tongkonan in Palawa shape can be seen with more ancient. Tongkonan in here made with more simple equipment and the buildings are relatively old age.

Friday afternoon, en route to the guesthouse to rest, we stopped to see buffalo. I saw from the buffalo's eyes seemed to radiate arrogance. The buffalo treated properly like a child. Also fed and bathed every day, and bathed with soap. So nice treatment, huh! Wow, I imagine that buffalo must be have smooth skin. It has a special guard too, which if for human babies, called baby sitter. But this, what?

The guard of buffalo said, that buffalo I saw classified into the class of bonga sura'. It called bonga sura' because the white buffalo has black spots. Interestingly, the buffalo that I saw here, its eyes also look mottled. Another surprise from bonga sura', when the guards said the price of the buffalo range 250-300 million rupiahs. Ouw ... Amazing, it’s relatively expensive price for the buffalo that also will eventually be slaughtered for the funeral customs activities. But for people who have an obligation to Toraja traditional activities, the price is not a problem.

Day two, Saturday (December 11, 2010), I enjoy the coolness of the hills in Batutumonga. On the way in Batutumonga, we crossed so many grave stones. The shape is distinctive and uniques. After seeing the view from the hill, me and my friends getting ready to return for many activities. On the way from Batutumonga, many childs follow the car and showing their cute smiles. Hope meet you again in another time, North Toraja!

Desemberku di Toraja Utara


Story by. Ahmad Yani Hasti


Ini adalah perjalanan lain dalam mencari makna hidup, Jumat Siang (10 Desember 2010). Sisi-sisi yang kutemukan di sini berupa kemegahan dan keaslian. Saya senang sekali bisa melakukan perjalanan akhir tahun di Toraja Utara. Di sini saya menemukan banyak kebudayaan lokal. Kebudayaan yang masih disimpan dan dijaga keasliannya oleh masyarakat Toraja.

Toraja Utara! Di sinilah saya. Bersama kemegahan lahan hijau pertanian dan berbagai cerita tentang Toraja Utara. Saya mungkin tidak banyak menjelajah dan menemukan banyak cerita mengingat keterbatasan waktu. Tapi akan kutuliskan sedikit cerita dan berharap menemukan banyak hasrat dari pembaca untuk berkunjung ke sini. Selain itu, saya berharap anda sendiri bisa menemukan lebih banyak cerita di Toraja Utara.

Kunjungan pertama saya di Museum Ne’ Gandeng. Saya melihat arsitektur yang begitu menawan dari rumah-rumah adat yang berbaris rapi di sini. Rumah adat yang disebut Tongkonan.

Kunjungan selanjutnya ke pedesaan traditional di Palawa. Kenapa disebut pedesaan tradisional sebab tongkonan yang dapat dilihat di Palawa bentuknya lebih kuno. Tongkonan di sini dibuat dengan peralatan yang lebih sederhana dan usia bangunannya relatif sudah tua.

Jumat Sore, kami pun dalam perjalanan ke wisma untuk beristirahat. Di pertengahan perjalanan, kami mampir melihat kerbau. Saya melihat dari sorot mata kerbau tersebut sepertinya memancarkan keangkuhan. Kerbau tersebut dirawat selayaknya anak manusia. Diberi makan juga dimandikan setiap hari, tidak lupa mandinya dengan sabun mandi. Enak sekali yah! Hah, saya membayangkan kulitnya pasti mulus sekali. Kerbau ini memiliki penjaga khusus, yang kalau untuk bayi manusia, disebutnya baby sitter. Tapi ini, apa ya?

Penjaga kerbau bilang, kerbau yang saya lihat itu masuk dalam golongan bonga sura’. Disebut demikian karena kerbau putih ini memiliki bercak-bercak warna hitam. Menariknya lagi, kerbau yang saya lihat di sini, matanya juga nampak belang-belang. Kejutan lainnya dari bonga sura’, saat penjaga mengatakan harga kerbau itu berkisar 250-300 juta rupiah. Ouw… Menakjubkan, harga yang terbilang mahal untuk kerbau yang pada akhirnya pun akan disembelih untuk kegiatan pemakaman adat. Tapi bagi masyarakat Toraja yang memiliki kewajiban untuk kegiatan adat tersebut, harga bukan masalah.

Hari kedua, Sabtu (11 Desember 2010), saya menikmati kesejukan perbukitan di Batutumonga. Dalam perjalanan di Batutumonga, kami melintasi begitu banyak kuburan batu. Bentuknya khas dan unik-unik. Setelah melihat-lihat pemandangan dari atas bukit, saya dan kawan-kawan bersiap-siap untuk balik dengan segudang aktivitas. Di tengah perjalanan dari Batutumonga, banyak anak mengejar mobil sembari menunjukkan senyuman manis mereka. Sampai jumpa, Toraja Utara!

Morning Call of the Gunung Nona


Story by. Ahmad Yani Hasti
Come to drink a cup of tea! We had enjoyed cup a tea with coolness of Enrekang.

Chaos of my mind after much heavy duty forced me to do refreshing. Before I was crazy, I say, "I have to travel somewhere." Without much thought, North Toraja became my destination choices. It has been my plan for long time to have cultural tourism in places which is also the mainstay of South Sulawesi. At this time, finally it can be realized.
I have no money transfers yet, I'm still not receiving wages yet, automatically my saving money was very thin. Eventually I plan super-efficient travelling, of course I make invitation with some friends who also liked to travel. From Thursday morning till afternoon (December 9, 2010), I called many friends who were there in my phone list. I made their phone was ring. As a result I have six people including me to travel on North Toraja. Because only this person which I phoned having free time until Saturday night. Why? When we specify another time, our activities collide including the schedule that I made.
We rented a car for two days. The process might long but only spent few hours. Thursday late night we tried to travel over 300 kilometers from Makassar. Some pieces of the road a bit broken, rocky, not to mention there are other pieces with winding streets. It was making the trip harder. But the warmth in a car covered with some jokes and smiles much more viscous feel at that time. Specially me, there is a feeling for my own happiness. Maybe because this is my first trip to the North Toraja. Actually, if I want to go there, I just have to drive approximately 150 kilometers from place where I grew up, Hamlet of Lapakaka, Barru, South Sulawesi.

Friday morning (December 10, 2010), stomach started rumbling. At that time we was in Enrekang, South Sulawesi. There's something interesting us, not just because we're taste the hungry. Across the winding streets, in our paths crossed, we can see the mountain that became the icon of Enrekang. That mountain named Gunung Nona. By Local people at there, it called Buntu Kabobong. Buntu which means mountain and Kabobong which means female genitalia. If we observe more carefully, the mountain was indeed resemble female genitalia as we observe in biology classes in high school.
It increases levels of my spirituality. For many times my mind made aware if there are major architect behind the creation of this universe. The creation of beauty, uniqueness, or regularity in the universe. Clerics call it God. Yes, God called by various names.
Curiosity led us to Gunung Nona layover in one of the food and beverage stalls. In the stall where we can take pictures with the right direction. Around the stall grew the trees which make green views. In that spot, I felt a confluence between the cool air and sunshine by sunrise which refreshing my mind. Breakfast may noodles and egg but it felt more fit to enjoy with a cup of tea. Not only that, laughter from fellow traveler increasingly warms of my journey.
Coolness of Enrekang has been one answer to every question related to our activity density. In that stall, we were really off fatigue with a warm cup of tea and the morning sun. Thanks to Fahmi, Sukma, Sindbad, Anis and Hadrianti which has given color in sojourn call that morning. After breakfast, we continued our journey to the North Toraja.

Panggilan Pagi dari Gunung Nona


Story by. Ahmad Yani Hasti

Mari ngeteh! Kami telah menikmati secangkir teh dengan kesejukan Kabupaten Enrekang.
Kekacauan pikiran yang berat setelah banyaknya tugas memaksa saya untuk melakukan penyegaran. Sebelum saya gila, saya mengatakan, “saya harus jalan-jalan ke suatu tempat.” Tanpa banyak pikir, Toraja Utara kemudian menjadi pilihan destinasi saya. Sudah lama saya merencanakan wisata budaya di tempat yang juga menjadi andalan Sulawesi Selatan itu. Baru kali itu dapat terwujud.
Belum dapat kiriman, belum gajian, otomatis uang simpanan sangat menipis. Akhirnya saya merencanakan perjalanan super hemat, apalagi kalau bukan dengan mengajak teman-teman saya yang juga gemar jalan-jalan. Dari kamis pagi hingga sore hari (9 Desember 2010), saya menelepon banyak kawan yang ada dalam daftar handphone saya. Kuderingkan handphone milik mereka. Hasilnya aku mengumpulkan enam orang termasuk saya untuk melakukan perjalanan ke Toraja Utara. Karena hanya orang kuhubungi ini yang memiliki waktu senggang hingga sabtu malam. Kenapa? Bila menentukan waktu lain, aktivitas kami saling bertabrakan termasuk dengan agenda yang kubuat.

Kami menyewa mobil selama dua hari. Proses terasa panjang tapi menghabiskan beberapa jam saja. Kamis larut malam itu juga kami mencoba menempuh perjalanan lebih 300 kilometer dari Makassar. Beberapa potong jalan agak rusak, berbatu, belum lagi ada potongan lain yang berliku-liku. Membuat perjalanan semakin berat. Tapi kehangatan dalam mobil yang berselimut canda dan senyuman jauh lebih kental terasa saat itu. Ada perasaan kebahagiaan tersendiri bagi saya. Mungkin karena ini adalah perjalanan pertama saya ke Toraja Utara. Padahal jika mau, saya hanya harus berkendara sekira 150 kilometer dari tempat aku dibesarkan, Dusun Lapakaka Kabupaten Barru.
Jumat pagi (10 Desember 2010), perut mulai keroncongan. Saat itu kami tengah berada di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Ada sesuatu yang menarik kami bukan hanya karena sedang berasa lapar. Di seberang jalan-jalan berliku, di jalur kami melintas, kami dapat melihat pegunungan yang menjadi ikon Kabupaten Enrekang. Gunung Nona namanya. Orang-orang lokal di sana menyebutnya Buntu Kabobong. Buntu yang berarti gunung dan Kabobong yang berarti alat kelamin perempuan. Jika diperhatikan lebih seksama, gunung itu memang menyerupai kelamin perempuan seperti yang kita amati dalam pelajaran biologi di bangku SMA.
Hal itu meningkatkan kadar spiritualku. Sekian kalinya pikiranku disadarkan kalau ada arsitek besar di balik penciptaan alam semesta ini. Penciptaan keindahan, keunikan, ataupun keteraturan dalam jagad raya. Agamawan menyebutnya Tuhan. Ya, Tuhan yang disebut dengan berbagai nama.
Rasa penasaran pada Gunung Nona mendorong kami singgah di salah satu kedai makanan dan minuman. Di kedai makanan dimana kami bisa memotret dengan arah yang tepat. Sekeliling kedai makanan itu tumbuh pepohonan yang hijaukan pandangan. Di tempat itu juga, kurasakan pertemuan antara hawa sejuk dan sinaran mentari di pagi hari yang segarkan pikiranku. Sarapannya mungkin mie telur tetapi semakin klop dengan menikmati segelas teh. Bukan itu saja, canda tawa dari rekan-rekan seperjalanan kian menghangatkan perjalananku.
Kesejukan Enrekang menjadi satu jawaban untuk setiap soal terkait padatnya aktivitas kami. Di kedai itu kami benar-benar melepas penat dengan hangat segelas teh dan mentari pagi. Terima kasih kepada Fahmi, Sukma, Sindbad, Anis dan Hadrianti yang telah memberi warna dalam persinggahan pagi itu. Setelah sarapan, kami pun melanjutkan perjalanan kami ke Toraja Utara.

Friday, November 19, 2010

Pisang Epe': Bananas Get Burned

Story by. Ahmad Yani Hasti
Hmmm ... What a smell along this Losari Beach? What they baked? It seems delicious.

On the day of Eid Mubarak, Wednesday (17/11/2010), I visited my acquaintances house in all around Makassar City, South Sulawesi, Indonesia. Then we took off the night at the corner of the city, Losari Beach. It doesn't seems fit if I didn't enjoy snacks around the beach. There is typical food around there lined near the streets along the beach called Pisang Epe'. Pisang Epe' sellers capitalize only with a cart and a few plastic chairs and wooden tables. I call it a traditional restaurant, huh. The way that you can enjoy the evening breeze of Losari Beach.


Pisang Epe' is baked bananas. As it burned, the banana must be inverted for mature evenly. Once burned, then flattened the bananas (that's the reason why is called Pisang Epe'). Epe in the local language of Makassar, it means flaked. Not only that, the banana get additional flavorings. Just choose, the original is a banana smeared by palm sugar water with durian flavor. But it can spread by milk chocolate and sprinkled with cheese. It taste yummy. For many sellers of Pisang Epe' here, then the seller should be able to choose the quality of banana.


The Most of choice is the banana which not too old and not too young. It's like we're talking about ideals. The price also cheap. We didn't currently enjoy Pisang Epe' in the five star restaurant. So you will only pay for three bananas each bowl about 6-7 thousand rupiah (less than one dollar).

Tuesday, October 05, 2010

Bira Beach: Looks Like in Paradise


What are u missing? Paradise………..-Justin Bieber-
Story by. Ahmad Yani Hasti*

Mengapa ada yang bilang perjalanan ke Bira seperti surga? Saya mencoba menemukan jawabannya dengan perjalanan dua hari bersama kawan-kawan dari Makassar, Jumat-Sabtu (6-7 Agustus 2010). Mungkin karena kawasan yang terletak di Kabupaten Bulukumba itu memikat pengunjung dengan sensasi keindahan yang menurut saya sangat menakjubkan. Pantai Bira atau juga yang akrab disebut Tanjung Bira memiliki pasir yang menghampar ke bibir lautan bak tepung terigu. Pasir putihnya halus dan lebih halus dari pasir putih pantai-pantai yang berada di Bali seperti Kuta, Legian dan Nusa Dua. Tidak kalah deh! Tak heran salah satu turis asing yang saya temui pada kunjungan tahun lalu di Bira mengatakan, Bira itu Bali ke dua.

Namun sungguh miris, kunjungan pertama saya di Bira dikecewakan dengan banyaknya sampah di sekitar bukaan pantai. Sambutan buruk itu berupa plastik-plastik minuman dan makanan. Tidak seperti pemandangan yang saya temui di Bali. Hijaunya kawasan pertanian dan kebersihan di Bali memanjakan mata dan perasaan kita. Adapun sajen yang berbanjar pada jalan-jalan yang ada di Bali, itu berbeda dengan sampah yang ditemui di Bira, sajen ini justru melengkapi khazanah wisata budaya di Bali. Dan masih banyak alasan mengapa Bali menjadi destinasi wisata mancanegara.

Pemasukan oleh pendatang, membuat Pemerintah Denpasar sadar betul pentingnya mengeluarkan uang ratusan juta untuk kebersihan kawasannya. Alasan serupa yang mendorong masyarakatnya yang begitu telaten menjaga kebersihan lingkungannya. Selain itu, keramahan selalu dihadirkan kepada wisatawan di Bali. Poin-poin ini seharusnya mutlak diperhatikan untuk mengangkat potensi wisata di Bira. Sayang perhatian itu belum benar-benar diwujudkan untuk meningkatkan potensi wisata di Bira.

Tapi sudah ada sedikit penataan yang dilakukan di kawasan sejauh 40 km dari sentrum Kabupaten Bulukumba, tersebut. Sarana seperti penginapan atau perhotelan, restoran serta sarana telekomunikasi juga transportasi laut sudah tersedia. Dari Makassar, jarak tempuh Tanjung Bira sekira 200 km dan ditempuh selama 3-3,5 jam bila jalanannya dalam kondisi baik.

Bira merupakan tempat yang sangat pas untuk menikmati matahari terbit ataupun tenggelam. Anda bisa berjemur dan dimanjakan berbagai aktivitas seperti berenang, diving, dan snorkeling. Biaya tiket masuknya hanya lima ribu rupiah per orang. Fasilitas tempat menginap beragam dari seratus ribu hingga satu juta rupiah per harinya, tergantung kualitas sarana dan bagaimana Anda bernegosiasi. Tapi akan lebih murah kalau Anda datang ramai-ramai karena ongkos nginapnya bisa patungan!

Lagi saat berbicara keindahan Bira rasanya tak cukup hanya dengan beberapa untaian kalimat ini. Di hari terakhir perjalananku, saya berjalan agak jauh ke sisi Bira yang belum terjamah banyak wisatawan lokal. Dimana sebagian besar bule-bule berkumpul. Masih sepi sekali. Mungkin itu sebabnya area itu sangat bersih (ya, untuk saat itu). Dan kejernihan airnya memancarkan temara biru lautan. Benar-benar bersih dan indah memang. Lalu kubilang pada teman-teman perjalananku, inilah surga alam!

Terakhir, wejangan buat teman semua. Ketika berjalan ke sana, harap jangan dikotori dengan sampah-sampah jenis apapun. Sebab kita tentu ingin menyisakan tempat indah buat anak cucu kita nantinya.


*dengan beberapa tambahan referensi

Ewako Visitors

Free counters!

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | free samples without surveys