Ewako Le Coq-Orient

Monday, December 20, 2010

Desemberku di Toraja Utara


Story by. Ahmad Yani Hasti


Ini adalah perjalanan lain dalam mencari makna hidup, Jumat Siang (10 Desember 2010). Sisi-sisi yang kutemukan di sini berupa kemegahan dan keaslian. Saya senang sekali bisa melakukan perjalanan akhir tahun di Toraja Utara. Di sini saya menemukan banyak kebudayaan lokal. Kebudayaan yang masih disimpan dan dijaga keasliannya oleh masyarakat Toraja.

Toraja Utara! Di sinilah saya. Bersama kemegahan lahan hijau pertanian dan berbagai cerita tentang Toraja Utara. Saya mungkin tidak banyak menjelajah dan menemukan banyak cerita mengingat keterbatasan waktu. Tapi akan kutuliskan sedikit cerita dan berharap menemukan banyak hasrat dari pembaca untuk berkunjung ke sini. Selain itu, saya berharap anda sendiri bisa menemukan lebih banyak cerita di Toraja Utara.

Kunjungan pertama saya di Museum Ne’ Gandeng. Saya melihat arsitektur yang begitu menawan dari rumah-rumah adat yang berbaris rapi di sini. Rumah adat yang disebut Tongkonan.

Kunjungan selanjutnya ke pedesaan traditional di Palawa. Kenapa disebut pedesaan tradisional sebab tongkonan yang dapat dilihat di Palawa bentuknya lebih kuno. Tongkonan di sini dibuat dengan peralatan yang lebih sederhana dan usia bangunannya relatif sudah tua.

Jumat Sore, kami pun dalam perjalanan ke wisma untuk beristirahat. Di pertengahan perjalanan, kami mampir melihat kerbau. Saya melihat dari sorot mata kerbau tersebut sepertinya memancarkan keangkuhan. Kerbau tersebut dirawat selayaknya anak manusia. Diberi makan juga dimandikan setiap hari, tidak lupa mandinya dengan sabun mandi. Enak sekali yah! Hah, saya membayangkan kulitnya pasti mulus sekali. Kerbau ini memiliki penjaga khusus, yang kalau untuk bayi manusia, disebutnya baby sitter. Tapi ini, apa ya?

Penjaga kerbau bilang, kerbau yang saya lihat itu masuk dalam golongan bonga sura’. Disebut demikian karena kerbau putih ini memiliki bercak-bercak warna hitam. Menariknya lagi, kerbau yang saya lihat di sini, matanya juga nampak belang-belang. Kejutan lainnya dari bonga sura’, saat penjaga mengatakan harga kerbau itu berkisar 250-300 juta rupiah. Ouw… Menakjubkan, harga yang terbilang mahal untuk kerbau yang pada akhirnya pun akan disembelih untuk kegiatan pemakaman adat. Tapi bagi masyarakat Toraja yang memiliki kewajiban untuk kegiatan adat tersebut, harga bukan masalah.

Hari kedua, Sabtu (11 Desember 2010), saya menikmati kesejukan perbukitan di Batutumonga. Dalam perjalanan di Batutumonga, kami melintasi begitu banyak kuburan batu. Bentuknya khas dan unik-unik. Setelah melihat-lihat pemandangan dari atas bukit, saya dan kawan-kawan bersiap-siap untuk balik dengan segudang aktivitas. Di tengah perjalanan dari Batutumonga, banyak anak mengejar mobil sembari menunjukkan senyuman manis mereka. Sampai jumpa, Toraja Utara!

Ewako Visitors

Free counters!

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | free samples without surveys