Ewako Le Coq-Orient

Monday, December 20, 2010

Panggilan Pagi dari Gunung Nona


Story by. Ahmad Yani Hasti

Mari ngeteh! Kami telah menikmati secangkir teh dengan kesejukan Kabupaten Enrekang.
Kekacauan pikiran yang berat setelah banyaknya tugas memaksa saya untuk melakukan penyegaran. Sebelum saya gila, saya mengatakan, “saya harus jalan-jalan ke suatu tempat.” Tanpa banyak pikir, Toraja Utara kemudian menjadi pilihan destinasi saya. Sudah lama saya merencanakan wisata budaya di tempat yang juga menjadi andalan Sulawesi Selatan itu. Baru kali itu dapat terwujud.
Belum dapat kiriman, belum gajian, otomatis uang simpanan sangat menipis. Akhirnya saya merencanakan perjalanan super hemat, apalagi kalau bukan dengan mengajak teman-teman saya yang juga gemar jalan-jalan. Dari kamis pagi hingga sore hari (9 Desember 2010), saya menelepon banyak kawan yang ada dalam daftar handphone saya. Kuderingkan handphone milik mereka. Hasilnya aku mengumpulkan enam orang termasuk saya untuk melakukan perjalanan ke Toraja Utara. Karena hanya orang kuhubungi ini yang memiliki waktu senggang hingga sabtu malam. Kenapa? Bila menentukan waktu lain, aktivitas kami saling bertabrakan termasuk dengan agenda yang kubuat.

Kami menyewa mobil selama dua hari. Proses terasa panjang tapi menghabiskan beberapa jam saja. Kamis larut malam itu juga kami mencoba menempuh perjalanan lebih 300 kilometer dari Makassar. Beberapa potong jalan agak rusak, berbatu, belum lagi ada potongan lain yang berliku-liku. Membuat perjalanan semakin berat. Tapi kehangatan dalam mobil yang berselimut canda dan senyuman jauh lebih kental terasa saat itu. Ada perasaan kebahagiaan tersendiri bagi saya. Mungkin karena ini adalah perjalanan pertama saya ke Toraja Utara. Padahal jika mau, saya hanya harus berkendara sekira 150 kilometer dari tempat aku dibesarkan, Dusun Lapakaka Kabupaten Barru.
Jumat pagi (10 Desember 2010), perut mulai keroncongan. Saat itu kami tengah berada di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Ada sesuatu yang menarik kami bukan hanya karena sedang berasa lapar. Di seberang jalan-jalan berliku, di jalur kami melintas, kami dapat melihat pegunungan yang menjadi ikon Kabupaten Enrekang. Gunung Nona namanya. Orang-orang lokal di sana menyebutnya Buntu Kabobong. Buntu yang berarti gunung dan Kabobong yang berarti alat kelamin perempuan. Jika diperhatikan lebih seksama, gunung itu memang menyerupai kelamin perempuan seperti yang kita amati dalam pelajaran biologi di bangku SMA.
Hal itu meningkatkan kadar spiritualku. Sekian kalinya pikiranku disadarkan kalau ada arsitek besar di balik penciptaan alam semesta ini. Penciptaan keindahan, keunikan, ataupun keteraturan dalam jagad raya. Agamawan menyebutnya Tuhan. Ya, Tuhan yang disebut dengan berbagai nama.
Rasa penasaran pada Gunung Nona mendorong kami singgah di salah satu kedai makanan dan minuman. Di kedai makanan dimana kami bisa memotret dengan arah yang tepat. Sekeliling kedai makanan itu tumbuh pepohonan yang hijaukan pandangan. Di tempat itu juga, kurasakan pertemuan antara hawa sejuk dan sinaran mentari di pagi hari yang segarkan pikiranku. Sarapannya mungkin mie telur tetapi semakin klop dengan menikmati segelas teh. Bukan itu saja, canda tawa dari rekan-rekan seperjalanan kian menghangatkan perjalananku.
Kesejukan Enrekang menjadi satu jawaban untuk setiap soal terkait padatnya aktivitas kami. Di kedai itu kami benar-benar melepas penat dengan hangat segelas teh dan mentari pagi. Terima kasih kepada Fahmi, Sukma, Sindbad, Anis dan Hadrianti yang telah memberi warna dalam persinggahan pagi itu. Setelah sarapan, kami pun melanjutkan perjalanan kami ke Toraja Utara.

Ewako Visitors

Free counters!

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | free samples without surveys