Ewako Le Coq-Orient

Monday, February 14, 2011

Sampah Menggerus Kecantikan Alam Indonesia

Story by. Ahmad Yani Hasti

Ada banyak persoalan terkait lingkungan dan menjadi perhatian dunia. Yang terangkum dalam program Bank Dunia saja sudah dapat dilihat beberapa kategori. Misalnya yang difokuskan untuk wilayah Indonesia, seperti perubahan iklim, pengelolaan hutan dan aliran air, penanggulangan bencana, serta pemeliharaan sumber daya pesisir dan ekosistem terumbu karang.

Tidak sedikit permasalahan signifikan yang terkait dengan lingkungan. Akan tetapi, saat membahas isu lingkungan di Indonesia, begitu mudahnya terbersik di kepala adalah persoalan sampah. Masalah klasik di negeri tercinta ini. Dimana itu juga memberikan begitu banyak cerminan terhadap kondisi negara Indonesia.

Sampah telah menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Tapi apakah semua benda akan menjadi sampah? Ataukah menjadi sesuatu yang tidak berguna? Apakah benda itu benar-benar tidak berguna lagi sehingga harus menjadi sampah? Apakah benda yang jadi sampah itu harus merusak pemandangan? Pertanyaan seperti itu pernahkah terlintas dalam pikiran. Ya, apapun yang ada dalam pikiran tentunya tidak mengharapkan sampah menjadi suatu masalah. Apalagi jika sampah itu lantas mengundang bencana.

Meski tidak ingin, pun sepertinya tidak benar-benar terlihat ada usaha untuk mewujudkan itu. Akhirnya, hal tersebut menghasilkan suatu kontradiksi antara wilayah pemikiran dengan realitas yang terjadi. Ada pertentangan ketika mengindra kenyataan dengan konsep ideal yang dipikirkan.

Hanya sebagian kecil orang saja yang benar-benar peduli tentang sampah. Mereka yang masih setia menggunakan barang-barang yang layak pakai, mereka yang memelihara dengan baik barang-barangnya, mereka dengan idenya yang telah mengubah barang tidak berguna menjadi layak guna, ataupun mereka yang peduli dengan kebersihan lingkungan sajalah yang benar-benar peduli terhadap masalah sampah.

Sampah tidak hanya ditemukan di trotoar jalan pada sejumlah kawasan di Indonesia. Tetapi juga di ruang publik dan tempat-tempat wisata andalan Indonesia. Seperti perjalanan diwarnai sampah saat hendak berkunjung ke Pantai Losari pada Hari Kamis petang itu (10 Februari 2011). Menyusuri Jalan Perintis Kemerdekaan dan Jalan Urip Sumoharjo, melewati kawasan Tamalanrea, Tello, dan Panaikang.

Atas: Anjungan di Pantai Losari saat masih sepi pengunjung, Kamis (10 Februari 2011). Benar-benar bersih dan nyaman dipandang. Bawah kiri dan kanan: Sampah yang tersembunyi di sudut-sudut anjungan Pantai Losari, Kamis (10/2). 

Pada tiap skala lebih kurang 10 meter, sampah berupa plastik minuman dan makanan akan mudah ditemukan di trotoar jalan. Pantai Losari yang merupakan “jualan” wisata di Kota Makassar, juga tak luput dari ‘serangan’ sampah tersebut. Masih segar dalam ingatan, ketika ‘serangan’ sampah telah menewaskan lebih dari seratus orang di Bandung. Itu bukan ‘serangan’ sampah biasa tetapi berupa longsor gunung sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah, Jawa Barat pada Februari 2005.

Sampah, selain menimbulkan bencana juga membenamkan potensi keindahan yang ada. Titik-titik sampah di daerah wisata tentunya akan mengganggu pandangan. Ibarat jerawat yang tumbuh di kulit wajah saat memasuki masa pubertas dan itu sangat mengganggu. Bila peduli kebersihan, orang-orang mulai rutin membersihkan kotoran di wajahnya. Tapi terkadang, ada faktor-faktor yang tidak mendukung. Itu membuat orang-orang mulai tidak peduli lagi dengan jerawat di wajahnya. Sama tidak pedulinya masyarakat dengan sampah di sekitarnya. Penyebabnya tidak lain karena minimnya faktor pendukung seperti fasilitas tempat sampah di pinggir-pinggir jalan. Orang-orang yang awalnya masih memiliki sisi kebersihan. Tetapi karena kesulitan mendapatkan tempat sampah, sampah itu pun bertebaran di sembarang tempat.

Sampah menggerus potensi wisata. Padahal di seluruh pelosok Indonesia kaya akan peninggalan-peninggalan bersejarah, spesies hewan, budaya lokal, serta panorama alam pegunungan dan lautan. Paling populer adalah wisata budaya di Bali dilengkapi pantai-pantai pasir putih pemikat banyak wisatawan dan pemandangan alam yang bersih dan menyegarkan pandangan.

Di Sulawesi Selatan sendiri, banyak tempat wisata potensial, misalnya wisata budaya di Tana Toraja dan Toraja Utara, peninggalan dari zaman kerajaan dan penjajahan yaitu Benteng Somba Opu dan Benteng Rotterdam. Selain itu, di Sulawesi Selatan juga ada Bantimurung yang pernah dikenal sebagai Kerajaan Kupu-Kupu dan Pantai Bira di Bulukumba yang tidak kalah menawannya dari pantai-pantai di Bali. Sayang, kebersihan belum benar-benar terpelihara. Akibatnya, wisatawan asing sangat jarang ditemui karena kesan mengganggu yang dimunculkan oleh sampah. Itu tidak mengherankan, sebab wisatawan banyak berkunjung ke tempat-tempat wisata yang kawasannya memiliki tata ruang yang baik dan lingkungan yang bersih. “Kecantikan” di dalam –Indonesia- tidak banyak yang menyadari karena kesan pertama yang ditonjolkannya. Kesan berupa ‘serangan’ sampah bak noda jerawat di wajah.

Sampah-sampah yang mengotori lautan yang berada di sekitar Pantai Losari, Kamis (10 Februari 2011). Pemandangan yang tidak menyenangkan. Meski tahu begitu, bukannya malah ikut membersihkan, sejumlah pengunjung malah berkontribusi juga ikut membuang sampahnya ke laut. (Atas, Bawah kiri dan kanan)

Oleh karena itu, upaya yang dapat ditempuh terkait masalah sampah yaitu memaksimalkan pengadaan fasilitas kebersihan, kampanye kebersihan di lingkungan masyarakat, serta pengelolaan sampah yang mengutamakan daur ulang. Upaya ini ditempuh tidak hanya untuk mengangkat potensi wisata yang ada tetapi juga untuk mencegah kerusakan alam ataupun bencana yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia sendiri yang tidak ‘bersahabat’ dengan alam.

Budaya Bersih Masih Dipertanyakan

“Bersih pangkal sehat” merupakan adagium yang sering diajarkan saat duduk di bangku sekolah dasar. Ilmu kesehatan juga menunjukkan keberpihakannya pada adagium tersebut. Orang-orang di dalam lingkungan yang jorok atau tidak bersih diindikasikan mudah terserang penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus dan bakteri. Diyakini sumber virus dan bakteri bagi penderita penyakit seperti Tipus, Tuber Colosis, Hepatitis, dan Bronkhitis diperoleh dari lingkungan tempat tinggal penderita yang kotor. Jadi mau sehat dan jarang sakit, ya, harus menjaga kebersihan.

Rupanya adagium tersebut tetap saja belum menyentuh seluruh lapisan warga Indonesia. Karena masih begitu banyak individu dalam masyarakat yang terlihat membuang sampah di sembarang tempat. Padahal hampir setiap ajaran agama pun menganjurkan pengikutnya untuk menjaga keseimbangan alam. Termasuk keseimbangan alam dengan menjaga kebersihan lingkungan. Dan tidak mengherankan pula mendengar adagium yang mengatakan, “Kebersihan sebagian dari iman”. Nah, jika ditelisik, adagium dan ajaran-ajaran itu menunjukkan kalau kebersihan seharusnya menjadi bagian kebudayaan di Indonesia.

Apatah dikata, Adagium sekadar adagium, ajaran sekadar ajaran, itu tidak benar-benar teraplikasi dalam pribadi sebagian besar warga Indonesia. Dan acapkali pola-pola kontras terkait kebersihan ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Banyak pengajar dan orangtua membimbing anak-anak untuk menjaga kebersihan terutama di sekolah ataupun di rumah. Meski di dalam rumah ataupun gedung sekolah sudah tampak bersih tetapi di sisi lainnya, sampah itu tetap ditumpuk di sekitar halaman. Bahkan terkadang sampah menumpuk di luar pekarangan rumah di dekat trotoar. Tidak ada tempat khusus yang menampung sampah. Yang lebih parah, anak-anak itu melihat orang-orang dewasa membuang sampah di sembarang tempat.

Sebagian besar masyarakat bahkan merasa nyaman membuang sampah sesaat ketika mereka tidak membutuhkannya dimanapun mereka berada. Misalnya yang dilakukan orang-orang yang berada di pusat perbelanjaan. Sampah-sampah berupa plastik minuman dan makanan milik mereka dibuang di sekitar halaman pertokoan ataupun jalan raya. Banyak juga supir yang membuang bungkusan dan puntung rokok serta plastik makanannya ke jalan raya melalui jendela mobil.

Sampah yang berada di sudut Jalan Maipa -sekitar Pantai Losari-, Kamis (10 Februari 2011).

Kenyamanan membuang sampah sembarang tempat seperti itu tak disertai pikiran panjang akan dampak yang mungkin ditimbulkannya. Lantas, kenyamanan itu juga memiliki andil kuat mempengaruhi perkembangan anak untuk apatis terhadap persoalan lingkungan, khususnya sampah. Anak-anak cenderung mengikuti apa yang dilakukan orang-orang dewasa, belajar dari pengalaman, yakni pengalaman dari apa yang mereka lihat.

Sampah-sampah berupa kemasan makanan dan minuman yang berserakan di Jalan Maipa, Kamis (10 Februari 2011).

Masih ada pandangan yang berkembang di masyarakat kalau kebersihan bukan tanggung jawab bersama. Ramai orang membuang sampah di trotoar jalan, juga tempat-tempat wisata karena beranggapan petugas kebersihannya akan membersihkan sampah itu. Atau misalnya senior di sekret lembaga-lembaga mahasiswa yang berpikir juniornya akan membersihkan sampah-sampah mereka. Hanya rumah atau kos-kosan yang jadi tempat tinggal saja yang sangat dijaga kebersihannya. Tetapi tempat wisata dimana setiap orang ingin menikmati suasana keindahan alam dirusak oleh sampah -tidak pada tempatnya- yang dibuang sejumlah oknum. Sekret jadi sepi karena tempatnya mulai kurang nyaman untuk melakukan aktivitas juga kegiatan.

Kotradiksi lainnya antara peranan dan perbuatan dalam kaitannya dengan kebersihan juga dilakukan oleh sejumlah penggiat pecinta alam dan pada kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk bersahabat dengan alam. Misalnya yang dilakukan sebagian mahasiswa pecinta alam usai melakukan aktivitas pendakian. Tak sedikit oknum pecinta alam membiarkan sampah plastik makanan dan minumannya mengotori pegunungan yang dikunjunginya. Selain itu, banyak juga rangkaian kegiatan yang ditujukan untuk mengajak masyarakat hidup sehat dan bersahabat dengan alam. Tetapi usai kegiatan, lagi-lagi banyak plastik makanan dan minuman bertebaran tidak pada tempatnya.

Penanganan sampah memang memerlukan perhatian serius pemerintah. Pencanangan kawasan kelas bertaraf internasional dengan kampanye “Go Green and Clean” jangan hanya menjadi jargon politik oleh kepala-kepala daerah. Sebab bukan tidak mungkin itu menjadi janji-janji politik saja. Mengingat kampanye itu mudah memikat hati masyarakat dan pemerintah pusat karena persoalan lingkungan yang telah menjadi perhatian dunia.

Kampanye-kampanye peduli lingkungan telah digalakkan di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Masyarakat Internasional mulai menunjukkan keprihatinannya terhadap bencana yang kerap melanda jagad raya ini. Indonesia tak luput mendapat kucuran dana Bank Dunia dan diperuntukkan bagi lembaga dan organisasi-organisasi terkait lingkungan hidup. Entah dana itu disalahgunakan ataukah aktivitasnya masih belum tepat sasaran. Yang jelas, bencana merupakan salah satu dampak dari ketidakmampuan manusia dalam menjaga keseimbangan termasuk keseimbangan alam. Membuang sampah di selokan sedikit demi sedikit dapat menutup saluran air dan menyebabkan banjir. Sampah yang berada bukan pada tempatnya juga menjadi sumber penyakit dan merusak pemandangan alam.

Tempat sampah yang sudah rusak dan bolong bagian bawahnya masih juga diletakkan di Pantai Losari -salah satu tempat wisata 'jualan' Kota Makassar-, Kamis (10 Februari 2011).

Alam wisata yang kotor mempengaruhi jumlah wisatawan dan nilai jual daerah pariwisata tersebut. Bayangkan diri anda berjalan bermesraan di bibir pantai bersama kekasih sambil menikmati matahari terbenam. Tapi tiba-tiba ada kantong plastik diterbangkan angin dan menghantam wajah anda. Itu adalah tragedi memalukan yang tidak perlu anda rasakan di tempat wisata yang terjaga kebersihannya.

Beberapa kawasan di dunia yang menjadi tujuan destinasi bagi banyak wisatawan merupakan kawasan-kawasan yang menjadikan kebersihan sebagai daya tarik dan bagian kebudayaan masyarakatnya. Sebut saja sebagian besar negara-negara di Eropa dan Amerika. Sementara di Asia seperti Beijing, Seoul, Tokyo, Singapura, Kuala Lumpur, dan di Indonesia ada Bali. Pemerintah dan penduduk di kawasan seperti itu telah menyadari potensi dan nilai ekonomis dari wilayahnya.

Sampah seharusnya berakhir di TPA dengan pengelolaan sampah yang mengedepankan daur ulang. Dibutuhkan partisipasi baik dari pemerintah ataupun masyarakat dalam menangani sampah. Karena ternyata kebudayaan bersih di masyarakat juga harus ditumbuhkan. Ada contoh kasus mengenai buruknya partisipasi masyarakat di sepanjang jalan poros di Kabupaten Pangkep dan Pantai Losari di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Meski pemerintah telah meletakkan tempat sampah yang memadai di berbagai sisi, tempat sampah nyaris kosong dan sejumlah pengunjung tetap membuang sampah sembarangan.

Plastik minuman yang ditinggalkan begitu saja oleh pengunjung di Pantai Losari, Kamis (10 Februari 2011).

Dalam kondisi seperti itu, pemerintah tidak boleh putus asa dan malah perannya semakin dibutuhkan dalam menyosialisasikan budaya bersih. Kalau perlu, setiap pekan masyarakat dihimbau untuk bekerja bakti dan pemangku kepala daerah terjun langsung berpartisipasi ikut membersihkan sampah yang memenuhi ruang-ruang publik. Kalangan pemerintah semestinya mampu menunjukkan keteladanan seperti itu. Selain pemerintah, keteladanan juga seharusnya lahir dari kalangan akademisi. Keteladanan sangat diperlukan dalam tatanan masyarakat dan itu dapat dimulai pada diri sendiri.

Pikiran utama harus menunjukkan bahwa kebersihan merupakan tanggung jawab bersama. Bukan hanya rumah bersertifikat dan kos-kosan yang menjadi tempat tinggal kita yang harus dijaga kebersihannya. Tapi Bumi inilah yang harus dijaga kebersihannya karena merupakan hunian bagi seluruh mahluk hidup. Bumi yang menjadi akses untuk kebutuhan jasmani dan rohani kita.

Pengembangan pola pikir dalam membudayakan kebersihan di lingkungan masyarakat harus ditunjang oleh upaya serius pemerintah. Penyediaan fasilitas dan pengerahan petugas kebersihan yang dilakukan oleh pemerintah harus lebih memadai baik segi kuantitas dan kualitasnya.


*Foto-foto oleh Ahmad Yani Hasti

Ewako Visitors

Free counters!

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | free samples without surveys