Story by. Ahmad Yani Hasti
Tak pernah kubayangkan pada penghujung April 2019 ini akhirnya menjadi kesempatan pertama bagi saya menginjakkan kaki ke tanah suci, di Makkah dan Madinah. Keduanya adalah tempat suci bagi kaum muslimin. Aku ingat saya bercita-cita ke tempat ini sejak masih kecil. Tapi banyak hal yang dilalui, sehingga harapan untuk mewujudkan hal tersebut perlahan-lahan memudar.
Saat itu ayah masih hidup dan aku duduk di bangku sekolah dasar, bahkan saat itu tinggiku belum mencapai semeter. Kedua orangtuaku tak pernah menekankan saya untuk ke sana. Dan boleh dikatakan waktu itu, kedua orangtuaku adalah tipe pekerja keras. Keduanya tidaklah sereligius seperti beberapa tahun terakhir ini hingga ayah meninggal di Tahun 2010. Dulu seingatku mereka hanya sibuk banting tulang untuk membesarkan ketujuh anaknya, dan sekarang hanya tinggal ibu. Jadi tidak benar jika dorongan itu datang seolah-olah karena sesuatu yang bersifat doktrinal. Saya hanya ingat pernah mendengar kisah-kisah para nabi terutama Rasulullah Muhammad SAW dan keajaiban tempat itu saat di sekolah. Melalui buku-buku agama dan kisah mengharukan dari orang-orang yang pernah bertandang ke sana. Kemudian saya melihat Ka'bah atau Baitullah (sebutan lain Ka'bah), tempat itu tampak megah di layar kaca. Kemudian saya seperti mendapat, entah disebut apa tapi hal tersebut membuatku takjub dan seolah mengajak saya untuk datang ke sana. Membayangkan berada di sana, saat itu, adalah perasaan yang terlampau menyenangkan bagi saya. Perasaan rindu meski belum sekalipun pernah kesana. Tapi karena keterbatasan saya dalam materi sehingga pelan-pelan mulai tak memikirkan hal itu lagi.
|
Ponakanku, Habiburrahman Hasti, tengah bermain bersama kawanan merpati yang beterbangan di jalan khusus pedestrian sekitar Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, Senin (29 April 2019). Foto: Ahmad Yani Hasti |
Panggilan Yang Maha Kuasa untuk berziarah ke sana memang berjalan penuh misteri. Terkadang orang yang rezekinya mencukupi, badannya sehat, tapi tak memiliki waktu luang. Ada yang berbadan sehat, waktu luang, tapi rezekinya belum memenuhi. Ada yang rezekinya memenuhi, waktu luang, tapi kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkan. Ada yang rezekinya cukup, waktu luang, badan sehat, tapi belum juga merasa terpanggil. Ada juga yang sudah punya rezeki cukup, badan sehat, bahkan telah melengkapi dokumen perjalanan untuk ke sana tapi mendadak dipanggil ke sisi Tuhan sebelum sempat berangkat. Kejadian ini kemudian menimpa salah seorang keluargaku. Pamanku seharusnya berangkat bersama, tapi takdir berkata lain, paman meninggal di hari kami seharusnya melakukan manasik. Hanya tinggal beberapa hari lagi sebelum berangkat umroh. Jadi saya akan sangat menyesal jika mendapat kepercayaan untuk ke sana dan kemudian melewatkannya begitu saja.
Puji syukurku pada Tuhan, ibu rindu kembali ke sana dan ibu meminta saya serta dua saudaraku untuk menemaninya ke sana. Ibu ternyata belum lupa keinginan masa kecilku. Dan memang saya percaya Tuhan selalu mendengar keinginan dan harapan hamba-Nya, tapi manusia tidak pernah tahu kapan dan di mana tepatnya Tuhan mengabulkan keinginan tersebut. Hingga saat itu tiba, sebagian manusia memilih lupa bahwa mereka pernah meminta hal itu pada Sang Pencipta dan lupa untuk bersyukur kepada-Nya. Mereka yang tidak meyakini eksistensi Tuhan, mungkin tidak akan pernah memahami hal yang saya ungkapkan ini.
|
Bersama keluargaku, Sabtu dini hari (27 April 2019), saat masih berada di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar. Kami menyempatkan foto bersama sebelum berangkat ke Arab Saudi untuk menjalani ibadah umroh. |
Sabtu dini hari (27 April 2019), saya meninggalkan Makassar, Indonesia, berangkat menuju Jeddah, Arab Saudi. Setelah menempuh perjalanan udara kira-kira sembilan jam aku akhirnya menginjakkan kaki di tanah Kerajaan Arab Saudi. Dua masjid paling sakral ummat Islam berada di sini. Masjid inipun terdapat di dua wilayah berbeda yaitu pada kedua tempat suci, Makkah dan Madinah, yang menjadi saksi hijrah Muhammad SAW dan penyebaran Islam. Masjidil Haram berada di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Dari Jeddah setelah berpakaian Ihram dan mengambil niat umroh berangkat menuju Kota Makkah. Untuk tiba di Makkah masih membutuhkan waktu sejam perjalanan menggunakan bus.
|
Foto: Ahmad Yani Hasti, Minggu (28 April 2019);
Lokasi: Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi. |
Ketua rombongan kami mengajak berdoa sepanjang perjalanan dan menyerukan talbiyah berkali-kali. Karena suatu urusan kami tiba di Makkah cukup larut. Di bawah kegelapan malam, aku akhirnya tiba di Masjidil Haram, dikelilingi lampu-lampu yang bersinar sangat terang. Bahkan lampu itu juga gemerlapan menerangi Ka'bah yang terdapat di tengah masjid, serta Bukit Safa dan Bukit Marwah di dalamnya. Baru menginjakkan kaki di sini saja sudah menjadi pemandangan yang menakjubkan bagi saya. Tapi yang lebih menakjubkan ketika saya bisa melihat dengan mata kepala sendiri tampak lautan manusia yang berkumpul di sana.
Tempat yang tidak begitu besar tapi orang berbondong-bondong kemari. Seolah tanpa henti, tanpa mengenal waktu, entah dini hari, entah di saat matahari pada posisi puncak, ataupun di luar suhu begitu dingin, tempat ini selalu dikunjungi orang-orang. Kepercayaan mereka yang kuat atas berkat Tuhan membuatnya tidak lagi bisa memikirkan tentang panas, dingin, atau penderitaan mereka. Karena bagi orang-orang yang percaya, yang mereka dapatkan di sana adalah nikmat Allah.
Mereka dari berbagai penjuru dunia. Berkulit putih, gelap, kuning, kecoklatan, oriental, kaya, miskin, modern, tradisional, liberal, radikal, berbadan lengkap, orang dengan keterbatasan, yang muda, bahkan orang yang usianya rentan, semuanya terlihat menyatu di tempat ini. Semuanya datang dengan harapan-harapan mendapat rahmat Tuhan, ataupun berharap agar Tuhan dapat mengabulkan doa-doa mereka. Di sana saya sering kepikiran coba ummat Islam bisa sedamai ini di tempat lain. Tapi sangat disayangkan, hal-hal seperti perbedaan ideologi dapat menjadi masalah besar hancurnya keharmonisan orang-orang.
Pengalaman-pengalaman yang saya rasakan di sini belum tentu sama bagi setiap orang. Makanya ini yang disebut pengalaman spiritual. Banyak orang mungkin datang kemari berharap menjadi lebih baik, tapi entah bagaimana saya kemudian merasakan sejumlah orang justru menunjukkan perilaku murni mereka di sini, termasuk saya. Hal seperti egois, emosional, cengeng, suka ngawur, semuanya seperti dengan mudah ditunjukkan di sini. Bahkan di sana saya melihat seorang ayah tak kuasa menahan untuk berlaku kasar kepada anak kecilnya yang nakal. Padahal perlakuan kasar itu bisa saja membatalkan ibadah umrohnya.
|
Foto: Ahmad Yani Hasti, Minggu (28 April 2019);
Lokasi: Ka'bah, Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi. |
Pada Ka'bah terdapat Hajar Aswad, sebuah batu berwarna hitam, salah satu penanda saat Ummat Islam melaksanakan tawaf. Nabi Muhammad senantiasa mencium batu tersebut saat tawaf, jika tak memungkinkan bisa dilakukan dari jauh dengan tangan yang dilambaikan ke arah batu tersebut. Ummat Islam percaya batu tersebut turun dari surga awalnya berwarna putih dan bersinar, tapi tak sedikit orang yang berlumuran dosa datang ke sana lalu menciumnya, batu tersebut perlahan kehilangan sinarnya dan menjadi semakin gelap. Beberapa dokumen foto di Arab Saudi menunjukkan perubahan warna batu tersebut dari tahun ke tahun, dari kecoklatan hingga semakin gelap.
Kejadian buruk hanyalah kerawanan yang dicitrakan manusia dan itu hanyalah bagian kecil yang dapat kamu lihat. Perjalanan ibadah ini seharusnya menjadikan hal buruk itu jadi bagian refleksi untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Dibanding hal buruk, tentu kamu menemukan lebih banyak kebaikan di sini. Semisal orangtua yang saya lihat di sana. Meski kakinya tak berdaya, tapi dia bisa melaksanakan tawaf dengan leluasa. Saat kami tengah berdesak-desakan, sesekali kaki terinjak jamaah lain, atau disundul kursi roda, kakek itu justru bisa menjalani tawaf nyaris tanpa gangguan. Dia berjalan hanya menggunakan pantat dan kedua tangannya, lalu di sana seperti ada dinding berbentuk lingkaran yang mengikuti langkahnya dan melindunginya. Meski di antara kerumunan orang, kakek itu terus mengelilingi Ka'bah tanpa ada yang bisa menginjaknya. Kakek itu memiliki keyakinan teguh untuk menjalani umroh di sana, dan seringkali tanpa kita sadari Tuhan sebenarnya selalu membantu hamba-Nya, tapi dengan cara yang kadang tidak kita pahami.
|
Salah satu bangunan megah yang berada di Makkah tak jauh dari Masjidil Haram. Bangunan ini dinamakan, Makkah Clock Royal Tower - A Fairmont Hotel, dan sudah menjadi salah satu bangunan ikonik di Makkah, Arab Saudi.
Foto: Ahmad Yani Hasti, Senin (29 April 2019). |
Saya seringkali teringat pesan ustaz yang mengawal perjalanan kami. Dia selalu mewanti-wanti kami untuk tidak berpikiran negatif selama di sana. Dia meminta kami untuk memikirkan hal positif. Dengan kata lain ustaz kami hendak berpesan, bahwa kamu adalah apa yang kamu pikirkan. Misalnya tentang nenek usia di atas tujuh puluh tahun yang pernah aku jumpai saat manasik. Dia bisa pulang umroh dalam keadaan sehat bugar kupikir itu mungkin karena optimisme yang dia tunjukkan sejak awal. Meski tentu dia punya kekhawatiran, itu tak nampak di wajahnya sama sekali. Tapi pemuda yang suka ngelantur, terlalu khawatir, semisal tentang kondisi cuaca di sana, akhirnya jatuh sakit dan kesulitan menjalani umroh selama di sana. Sejatinya kekuatan pikiran jadi sangat berpengaruh terhadap kondisi jiwa seseorang.
Dengan keyakinan itu saya coba melaksanakan umroh saya dengan pikiran yang damai. Usai berpakaian ihram, lalu miqat yaitu mengambil niat umroh di tempat yang telah ditentukan, mengucapkan talbiyah selama perjalanan menuju Ka'bah, tawaf mengelilingi Ka'bah, melaksanakan sai di Bukit Safa dan Bukit Marwah, dan terakhir melaksanakan tahallul dengan mencukur sebagian rambut. Ibadah umroh ini akhirnya dapat diselesaikan hanya dalam sehari. Selebihnya setiap orang biasanya memperbanyak shalat wajib berjamaah dan shalat-shalat sunnah mereka terutama dilakukan di Masjidil Haram.
|
Mengabadikan momen bersama ibu, usai menjalani umroh pertamaku,
Minggu (28 April 2019), di Ka'bah, Makkah, Arab Saudi. |
Kami menjalani umroh ini ketika musim panas di Arab Saudi. Setiap siang hari saya sungguh hanya merasakan panasnya Makkah di luar Masjidil Haram. Masjid dikelilingi mesin pendingin yang membuat jamaah merasa nyaman. Tapi di tengah masjid, di ruang yang terbuka dimana Ka'bah berada, meskipun beribadah di sana hanya beratapkan langit dan mentari, ada perasaan yang sangat sulit saya jelaskan, ingin mengatakan panas tapi tidak, ingin mengatakan dingin juga tidak, panasnya tidak begitu menusuk dan tidak membuat saya gerah. Selain itu masih banyak perasaan senang yang tidak mampu saya ungkap lebih jauh lagi. Intinya saya tetap merasa nyaman beribadah meskipun matahari secara perlahan membuat kulitku menjadi lebih gelap.
Saya beserta keluarga dan rombongan tur tinggal di salah satu hotel di Makkah di sini selama lima hari empat malam dari Minggu (28 April 2019) hingga Kamis (2 Mei 2019). Saat menginap di Makkah, selain menjalani ibadah umroh, kegiatan ibadah lainnya di Masjidil Haram, serta berbelanja oleh-oleh, kami juga berziarah ke beberapa tempat di antaranya Jabal Tsur dan Jabal Rahmah.
Jabal Tsur termasuk salah satu bukit yang tertinggi di Kota Makkah. Di puncaknya terdapat sebuah gua bersejarah terkait Muhammad SAW, yakni Gua Tsur. Gua ini tak begitu besar, cukup dimasuki orang tanpa berdiri tegak. Selama tiga hari tiga malam Rasulullah berlindung di sana dari sekelompok orang Kaum Quraish yang mengejarnya. Pertolongan Allah kepada rasulnya, Muhammad, muncul ketika sangat dibutuhkan. Ajaibnya dengan singkat, makhluk-makhluk Allah, yakni sejumlah laba-laba dan merpati ini berusaha melindungi Rasulullah dengan membuat sarang besar di situ. Biasanya sarang itu harus dibuat dalam waktu yang lama. Saat orang-orang Quraish itu ke gua, mereka pikir bahwa mustahil ada yang bisa ke dalam gua dengan jaring laba-laba yang tersebar di pintu masuk gua, ditambah banyak burung merpati yang juga bersarang di situ. Akhirnya mereka tidak berhasil menemukan Rasulullah.
|
Berfoto bersama seluruh jamaah satu rombongan perjalanan umroh.
Foto: Ahmad Yani Hasti, Selasa (30 April 2019);
Lokasi: Jabal Tsur, Makkah, Arab Saudi. |
Sementara Jabal Rahmah berada di kawasan yang berbeda lagi dengan Jabal Tsur. Jabal Rahmah merupakan bukit batu yang berada di bagian selatan Padang Arafah. Terletak sekitar dua puluh lima kilometer di sebelah tenggara Makkah. Jabal Rahmah ke dalam Bahasa Indonesia dapat diartikan Bukit Kasih Sayang. Disebut demikian karena Orang Muslim meyakini bahwa di sanalah pertemuan Nabi Adam dan Hawa yang sebelumnya diturunkan ke bumi secara terpisah. Kedua suami isteri tersebut dipertemukan dan akhirnya bisa kembali merajut kasih sayang mereka. Pemerintah Arab Saudi membangun sebuah tugu di sana yang dipercaya sebagai titik bertemunya Adam dan Hawa. Banyak yang datang kemudian memanjatkan doa kepada Tuhan agar hubungan dengan pasangan mereka bisa berlangsung lama hingga maut memisahkan. Sementara untuk muda-mudi yang masih sendiri, banyak yang datang berdoa agar mereka segera menemukan tambatan hati mereka.
|
Foto: Ahmad Yani Hasti, Selasa (30 April 2019);
Lokasi: Jabal Rahmah, Arafah, Arab Saudi.
|
Kamis siang (2 Mei 2019), kami pun bergegas meninggalkan hotel di Makkah menuju rute selanjutnya. Dengan mengendarai bus, kami bertolak dari Makkah menuju Madinah. Saya sungguh telah merasa rindu meski baru sekejap meninggalkan kota kelahiran Muhammad tersebut.