Berpandangan terbuka terhadap pemikiran global. Tetapi tetap memegang teguh nilai-nilai lokal. Kedua pokok pikiran itulah mungkin yang melahirkan istilah glokalisasi. Tetapi apalah itu, saya melihat kedua substansi tersebut telah menjembatani kedua kawasan antara Surabaya dengan Madura.
Suramadu Bridge - Photo by. Hongko Djojo/Source: flickr.com |
Lantas dari segi nilai-nilai lokal, apa yang masih dipertahankan. Menurut penulis, yakni suatu kearifan lokal berlandaskan agama serta budaya yang melekat pada pribadi bangsa Indonesia. Tak terkecuali Surabaya dan Madura. Tentu ada pemandangan menarik saat berada dalam kerumunan masyarakat, kita akan melihat tata cara berpakaian yang beragam tapi memiliki satu kesamaan identitas yaitu kesederhanaan. Sebagian menggunakan kemeja, kaos, kebaya, batik, atau baju gamis dari arab tapi ditambah balutan sarung dan peci yang mencirikan Indonesia. Demikian itu telah menggambarkan Indonesia selain masyarakat religius juga berbudaya.
Lebih lanjut, jika Surabaya memiliki Rujak Cingur, di Madura sangat terkenal akan satenya. Dan selain makanan, Madura juga memiliki keunikan lain diantaranya rumah adat, maupun industri kerajinan berupa Batik Madura, Clurit, dan Keris. Serta takkan terlupakan adalah budaya Karapan Sapi di Madura yang tak kalah terkenal.
Lantas bagaimana kemasan menarik itu dapat memberi profit seperti yang kita harapkan. Salah satunya dengan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki. Berbicara tentang SDM, terus terang, penulis tidak perlu ragu lagi akan kemampuan masyarakat Indonesia secara garis besar, apalagi jika berbicara tentang Surabaya dan Madura. Di sini, terdapat salah satu sosok yang mengemuka dan menurut penulis, sosok itu telah berada dalam rel “Think Globally, Act Locally”. Dia adalah Tri Rismaharini.
Terlepas dari kontroversi penghargaan oleh European Business Assembly (EBA) yang diterimanya. Dibawah kepemimpinannya selaku Walikota, Surabaya telah berkali-kali mendapat penghargaan nasional dan international. Lewat perubahan-perubahan yang dilakukannya untuk Surabaya, sekali lagi membawanya dalam ajang penghargaan World Mayor 2014. Ternyata, wanita berkerudung sederhana ini mampu menciptakan perubahan di Surabaya, dan pemikirannya itu terbukti dapat menarik perhatian masyarakat global.
Meski begitu, Risma, sapaannya, dia tidak terlena dengan arus global yang kita ketahui banyak mendapat pengaruh budaya asing. Walau kini Surabaya dan Madura tengah gencar menjual potensi wisatanya, justru mengapa Risma berkukuh untuk menutup Gang Dolly. Padahal keberadaan Gang Dolly sebagai lokalisasi kegiatan prostitusi akan menjadi “jualan” tersendiri bagi wisatawan mancanegara. Tapi Risma tidak berpikir picik demikian, kegiatan prostitusi itu dianggap hanya mengeksploitasi tubuh wanita untuk kepentingan segelintir orang. Dan aktivitas prostitusi itu tidak sejalan karakter bangsa yang berke-Tuhanan atau religius sebagaimana dalam sila pertama Pancasila.
Dengan menutup Gang Dolly, berarti Risma sadar harus menemukan potensi lain wilayahnya, terutama meningkatkan kualitas potensi yang sudah ada, untuk dapat menarik para wisatawan. Sebagai walikota, Risma juga memiliki fokus dalam meningkatkan kebersihan di Surabaya. Semoga Risma terus melakukan perubahan berarti di Surabaya, sehingga semangatnya memberi pengaruh luar biasa sampai ke Madura dan diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat.
Jika potensi sudah ada, berarti hal yang perlu dilakukan hanyalah tinggal melakukan pengembangan dan meningkatkan tehnik yang selama ini digunakan untuk mendapatkan hasil maksimal. Sayang sekali, penulis belum berkesempatan “terjun langsung” melihat jembatan Suramadu dan seperti apa kondisi kekinian Surabaya dan Madura. Jembatan Suramadu dan Karapan Sapi orang Madura adalah hal yang sangat menggairahkan bagi saya untuk melihatnya secara langsung. Kalaupun saya sedikit tahu dan pernah melihat tentang Surabaya dan Madura, paling hanya lewat bacaan artikel di internet dan tayangan televisi. Sehingga gagasan yang akan disampaikan ini mungkin tidak menyentuh secara tepat.
Tapi, saya telah menyempatkan berkunjung ke beberapa tempat wisata di Indonesia, dan pada dasarnya mereka memiliki masalah yang hampir sama. Berikut ini ide yang saya coba paparkan untuk pengembangan Surabaya dan Madura, khususnya dalam sektor pariwisata.
- Mengembangkan yang ada dan terus menggali potensi
Indonesia dengan berbagai karakteristik masyarakatnya dan keragaman budayanya, sebenarnya sudah cukup untuk menjadi jualan dalam sektor pariwisata. Tetapi dibutuhkan penguatan informasi sehingga hasilnya menjadi tepat sasaran. Beruntung di Madura, sudah memiliki satu modal yang mengemuka di dunia yaitu Sate. Dalam suatu posting berjudul “Your pick: World's 50 best foods” situs berita ternama CNN lewat CNN Travel yang diumumkan pada September 2011 oleh Tim Cheung, Sate menduduki peringkat 14 dari 50 masakan terbaik dunia.
Di posisi pertama ada Rendang yang juga berasal dari Indonesia. Setelah terbit, postingan tersebut menuai kontroversi sejumlah pecinta kuliner mengharapkan makanan favoritnya ada dalam daftar. Tapi demikianlah hasil yang “bicara” dalam daftar itu atas voting lebih dari 35.000 pemilih yang tersebar di berbagai negara. Dalam posting lain, saya dibuat terpukau komentar seorang warga asing mendeskripsikan kecintaannya akan masakan Indonesia. Namanya Reinhard Kuchenbaecker, bila diterjemahkan, sekiranya dia berkata seperti ini, “CNN dapat membuat ribuan daftar/polling atas masakan-masakan lezat dunia, apapun itu tapi makanan terbaik bagiku adalah masakan isteri saya, Sate Indonesia!”
Dalam salah satu posting situs berita online CNN, Reinhard berkomentar akan kekagumannya terhadap masakan Indonesia yang disebut Sate. Source: travel.cnn.com |
Sehingga perlu pengembangan dalam hal mengemas makanan-makanan khas Surabaya dan Madura sehingga dapat menjadi selera internasional. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melibatkan koki terkenal untuk melatih para penjaja makanan dan pemilik warung tentang cara menarik menghidangkan makanan. Jika dilangsungkan secara berkesinambungan, perlahan-lahan kiat menarik menghidangkan makanan tersebut akan membudaya dalam masyarakat.
Tapi apa mungkin hanya gara-gara Sate, wisatawan akan datang ke Madura? Atau apa hanya Rujak Cingur, jadi alasan wisatawan ke Surabaya? Tentunya tak semudah alasan itu untuk mendatangkan wisatawan terutama mereka yang berasal dari negara yang jauh. Maka terkait hal itu, pemerintah Surabaya dan Madura didukung masyarakatnya memiliki pekerjaan rumah. Selain Jembatan Suramadu yang menjadi ikon Surabaya-Madura, atau lebih dari sate dan Karapan Sapi, semua harus terus berupaya menggali potensi wisata yang dimiliki. Ini bertujuan menambah deretan daftar tempat dan hal menarik bagi wisatawan untuk berdatangan.
- Mau dibawa kemana “Hubungan Kita”
Tentu sangat miris, ketika kita memiliki teman yang datang ke Indonesia, yang hanya bercerita dan memiliki kesan tentang sampah untuk dibagikan saat mereka pulang ke negaranya. Padahal Indonesia ini memiliki keragaman budaya dan keunikan untuk diceritakan. Ini membuatku teringat guyon teman soal sampah. Katanya, “Kalau orang Indonesia ke luar negeri, kita belajar untuk tidak membuang sampah sembarangan. Tapi kalau orang luar negeri datang ke Indonesia, mereka yang belajar buang sampah sembarangan.”
Guyon sekaligus Kenyataan yang memilukan. Dan hal ini benar terjadi. Suatu waktu saya dan temanku kedatangan kenalan baru dari Jepang bernama Masato. Kami sudah demikian akrab dan acapkali membawanya jalan-jalan. Pada kesempatan itu, temanku mengajaknya ke salah satu tempat wisata di Sulsel, tepatnya permandian air terjun Bantimurung. Entah kenapa pada hari itu dia membuang sampahnya di halaman tempat wisata. Pemandangan yang tidak biasa buat kami mengingat sepengetahuan kami Jepang negara bersih dan orang-orang disana terdidik untuk menjaga kebersihan. Jadi temanku bertanya, “Masato! Kenapa buang sampah sembarangan?” Dan dia pun menjawabnya polos menggunakan bahasa Indonesia yang tak begitu fasih, “Oh, saya kira di Indonesia bisa.”
Saya mungkin tertawa dengan jawaban polos Masato, tapi ini jelas tamparan buat saya. Jadi dalam hati saya bertanya-tanya, apa mungkin Indonesia bisa bersih seperti di Jepang? Akankah lebih bersih ketimbang beberapa Negara di Eropa, atau yang paling dekat yaitu Singapura? Pertanyaan ini penting bagiku, karena sangat sering kudapati argumen entah dalam artikel atau cuplikan video semisal youtube, hal yang membuat orang asing tak nyaman di Indonesia adalah soal sampah. Masalah ini akan membuat mereka berpikir dua kali untuk kembali di Indonesia. Dan apabila saya berpikir lebih jauh, pendatang tersebut tentu akan berbagi informasi tentang sampah kepada kenalan mereka. Informasi setengah-setengah itu akan membuat sejumlah orang jadi sangsi atas keindahan yang Indonesia miliki.
Meski akan butuh waktu untuk berubah, bukan tidak mungkin untuk melihat Indonesia bersih di masa-masa mendatang. Prinsipnya, jika negara lain bisa, kenapa kita tidak? Apalagi bersih sudah merupakan bagian dari tuntutan hidup masyarakat Indonesia. Semboyan seperti “Bersih adalah sebagian dari iman” atau “Bersih pangkal sehat” sudah sering kita dengarkan sejak masih di sekolah dasar. Sayang, sebagian masyarakat kita menilai kebersihan itu hanya sebatas kamar atau pagar rumah mereka. Yang seharusnya pikiran itu dibuka untuk pemahaman lebih luas tentang kebersihan. Kebersihan itu melewati kamar dan pagar rumah. Tidak hanya di tempat kerja, tetapi juga di jalan, taman, tempat umum, di seluruh Indonesia, bahkan menjaga kebersihan di seluruh belahan dunia. Bersih itu seharusnya menjadi karakter kita, dimanapun kita berada.
Buanglah sampah ditempat yang semestinya. Nantinya hal itu tidak sekadar menguntungkan pemerintah tetapi juga meningkatkan roda perekonomian masyarakat. Kebersihan itu dapat dikelola menjadi keuntungan, semisal dalam sektor pariwisata. Tempat bersih menciptakan kenyamanan tersendiri bagi wisatawan. Kenyamanan itu diharapkan akan membuat wisatawan terus berdatangan.
Padatnya wisatawan akan sendirinya membuat banyak aktivitas dan produktivitas perekonomian di suatu daerah. Dalam berbagai kelas, akan banyak penginapan atau hotel, warung atau restoran, serta industri kreatif dibangun. Tidak ketinggalan berbagai fasilitas layanan publik akan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Maka pekerjaan pun akan terbuka lebar.
Untuk mendorong hal itu, sosialisasi kebersihan ini harus secara berkelanjutan. Tidak lupa pemerintah harus mendukung penyediaan sarana dan prasarana layanan kebersihan. Bersih saja itu sudah bagus, apalagi kalau bisa memberi keuntungan dalam mendukung kegiatan wisata suatu daerah. Nah, mulai sekarang, kita harus menyatakan “putus hubungan” dengan sampah!
- Kerjasama dan berbagai pendekatan promosi
Dan untuk itu, kita perlu belajar dari negara-negara yang memiliki sektor pariwisata yang cerah. Mereka tentu tidak hanya mengandalkan ikon yang mereka miliki tetapi juga menggunakan berbagai langkah promosi dan faktor pendukung lain untuk menunjang kegiatan pariwisata itu. Langkah-langkah itu dapat berupa pemuktahiran kegiatan promosi dan penyebaran informasi. Upaya mereka untuk meningkatkan pariwisata itu yang harus dikaji kemudian diadaptasi untuk mendukung kegiatan pariwisata kita.
Coba akses nama beberapa kota ternama di Perancis dan Italia lewat kolom gambar google! Hasilnya pasti akan membuat anda terpanah. Bangunan atau pemandangan dengan gambar-gambar menarik telah memenuhi dan menghiasi kolom tersebut. Yang salah satu gambar saja telah mampu menggugah gairah melebihi ekspektasi anda daripada yang diungkapkan lewat ratusan kata-kata.
Saya bersyukur saat mengakses dua kawasan yaitu “Makassar” dan “Toraja” di Sulsel, dekat kampung halaman saya. Hasilnya sudah jauh lebih baik daripada sejak saya pertama membuat tulisan penguatan data base online untuk memajukan kegiatan turisme di Sulsel. Juga saat mengakses nama “Surabaya” dan “Suramadu”, tampilan foto-fotonya di situs google sudah menarik namun masih perlu ditingkatkan. Malah yang sedikit disesalkan adalah ketika mengakses nama “Madura”. Disana terlihat beberapa gambar yang tidak jelas menggambarkan tempat tersebut, malah ada beberapa gambar mengerikan yaitu penyakit berbahaya yang menyerang kulit. Bukannya tidak peduli terhadap si penderita, tetapi pastinya bukan gambar seperti itu yang saya harapkan, saat mencoba mengakses informasi daerah wisata yang ingin kutuju.
Beberapa gambar menarik yang muncul di halaman google saat mengakses kata "Suramadu". Source: google.com |
Penguatan database online itu dapat didukung dengan mengajak berbagai pihak perusahaan untuk bekerjasama. Menjalin tidak hanya dengan perusahaan lokal, tetapi juga perusahaan asing yang memiliki konsentrasi pasar di Surabaya dan Madura. Perusahaan tersebut diajak untuk mendanai kegiatan-kegiatan lomba menulis terutama lomba fotografi, yang temanya terkait keindahan dan kebudayaan di Surabaya dan Madura.
Kerjasama lain dapat dengan melibatkan penulis skenario dan sutradara handal untuk membuat film-film yang dapat bertemakan apa saja, tapi mengambil latar kebudayaan dan lokasi di Surabaya dan Madura. Di beberapa negara, film menjadi sarana untuk memproklamasikan kebudayaan dan kawasan mereka. Invasi kebudayaan tersebut tidak disadari karena telah dikemas dalam tayangan yang menghibur. Seharusnya hal itu tidak dihindari, tetapi malah perlu diadaptasi dan dijadikan kekuatan dalam mempromosikan pariwisata kita.
Korea Selatan misalnya, terkenal akan boyband dan girlband, yang berseliweran di televisi dan klip-klip video di youtube. Berhasil memukau masyarakat Internasional lewat usahanya yang dirancang selama bertahun-tahun dan memang membuahkan hasil. Lagu yang dinyanyikan bernuansa beat, hip-hop, dan rap, merupakan tipikal selera musik yang tengah digandrungi. Menggabungkan Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dengan Bahasa Korea. Selain vokal grup seperti itu, Korea Selatan juga mampu menghadirkan tontonan film dan drama seri yang membius jutaan penonton, dimana sebagian besar remaja, di seluruh benua. Model, Penyanyi, dan Pemain Film yang ditunjukkan telah melewati beberapa tahap pelatihan dan bedah plastik sehingga lebih menarik untuk dilihat. Dan akibatnya lebih banyak orang, tidak lagi menganggap bedah plastik sebagai sesuatu yang tabu.
Namun poin menarik untuk diambil, meski ternyata ambisi mengikuti selera internasional, unsur kebudayaan Korea Selatan tidak benar-benar hilang. Malahan hal itu dipadukan dan menjadi kekuatan negaranya. Selain bahasa dan dialek, sesekali dalam tayangan video musik, drama atau filmnya menampilkan pakaian tradisional, makanan khas korea, juga pemandangan dan bangunan megahnya. Akhirnya upaya Korea Selatan ini tidak hanya meraup banyak keuntungan dari industri hiburan. Akan tetapi, upaya itu juga memiliki efek samping yang positif terhadap sektor pariwisatanya.
Efek “demam Korea” ini juga sering menyulitkan saya untuk mencari teman jalan saat hendak berwisata di Malaysia atau berbagai pulau di Indonesia. Saat mengajak mereka, saya sering mendapati jawaban ini, “Bro, mending uangnya saya tabung dulu untuk jalan-jalan Korea.” Rupanya pengaruh itu sudah begitu besar untuk mendorong orang-orang bepergian ke sana. Meski itu sekadar berpapasan dengan artis favoritnya. Sebagian lagi malah secara intens mempelajari kebudayaan Korea Selatan dan tidak hanya terbatas mengetahui tempat-tempat wisata menarik. Tapi lebih dari itu, mereka belajar tentang bahasa dan kebiasaan orang Korea serta masakannya.
Surabaya dan Madura bisa melakukan usaha serupa dan tetap dengan memperkuat unsur lokal yang dimilikinya. Di Indonesia malah kita punya sutradara terkenal bernama Gareth Evans. Pria kelahiran Wales yang beristerikan orang Indonesia. Sejumlah film laga berlatarkan Indonesia dia “harumkan” ke kancah perfilman internasional termasuk ke Hollywood. Dua film yang sukses membawanya ke industri hiburan di Hollywood adalah “The Raid: Redemption” dan “The Raid 2”. Jadi kepikiran, kenapa tidak mengajaknya bekerjasama dalam membuat film yang berlatarkan Surabaya dan Madura.
Karapan Sapi yang merupakan salah satu kebudayaan khas Madura dan masih bertahan hingga saat ini. Photo by.Saiful Bahri/ Source: antarafoto.com |